09 Agustus 2011

Berbagi Makanan

Lama blog ini tidak kujenguk. Serasa berdebu tebal, banyak sarang laba-labanya. Aku sedikit alergi. Takut pilek begitu bersih-bersih di sini. Hei, untuk apa aku bersih-bersih? Ini rumah biarkan saja apa adanya. Rumah yang menyimpan banyak kenangan. Antara aku dan ibuku.

Kadang aku ingin mengunjungi dan mulai menambahkan furnitur di rumah maya ini. Tentu saja, furnitur antik berupa kenanganku tentang ibu. Tapi, selalu saja aku dikalahkan oleh hal lain. Kalau kau pernah baca di blog-ku yang lain, kau tahu alasannya.

Kali ini Ramadhan datang. Hari ke sembilan.

Bulan yang penuh makna, kupikir. Bukan sekadar bulan suci yang mana orang-orang berlomba lebih baik. Berlomba mengisi masjid. Berlomba mengaji. Berlomba memeriahkan bulan suci ini.

Lalu, aku ingat ibu.

Lewat Ramadhan, ibuku mengajarkan banyak hal padaku. Terutama dalam hal bersedekah. Berbagi. Memberi.

Misalnya, dulu sewaktu aku masih berusia belasan tahun, usia anak SD, tiap petang menjelang berbuka puasa, aku selalu ditugaskan oleh ibuku mengantar makanan ke para tetangga. Dengan nampan besi (kami, dalam bahasa Sasak, menyebutnya tapsi) di atas kepala, aku – kadang-kadang mengajak adikku – pergi dari rumah ke rumah. Makanan apa? Ada ketupat, urap-urap, kolak, dan pelecing. Yang wajib adalah ketupat, pelecing, dan urap-urap. Sebab, saban hari selama sebulan Ramadhan penuh, ibu membuat ketupat. Aku juga ikut membantu bikin selongsongnya. Ibu yang mengisi dengan beras di pagi hari, menatanya di dandang, dan memasaknya di atas tungku, mulai pagi sampai zuhur menjelang.

Zuhur, itulah giliranku mengangkat ketupat-ketupat panas itu dari dandang. Mengikatnya dan mengangin-anginkannya di rentangan bambu di salah satu ruangan dekat dapur.

Sore, ketupat dibelah-belah dengan pisau. Untuk konsumsi kami ada pilihan nasi atau ketupat. Kalau untuk tetangga, dikirimkan saja ketupat utuh. Tak lupa sepiring urap-urap.

Ah, jika ingat-ingat itu, aku sungguh bahagia. Ibu mengajariku untuk berbagi lewat hal sederhana semacam itu. Aku juga sedikit heran karena orang kota yang aku saksikan di televisi justru makan ketupat ketika lebaran, tidak demikian halnya dengan kami. Aku bahkan bisa bikin ketupat sendiri. Merangkainya. Dan kadang ikut bantu ibu memasukkan biji-biji beras ke dalamnya. Mengira-ngira. Kalau berasnya kebanyakan, ketupatnya akan padat dan keras. Kalau terlalu sedikit, ketupatnya akan lembek. Jadi, kira-kira saja. Sekitar setengah isi ruang dalam selongsong ketupat.

Aku tahu berbagi makanan adalah hal remeh. Dan, aku senang saja melakukannya waktu itu. Kendati hujan, aku dipayungi adikku, akan tetap setia mengantarkan makanan ke rumah-rumah tetangga. Atas perintah ibuku, tentu saja.

Bagi anak kecil seperti aku dulu, ketika tetangga kembali berbaik hati memberikan recehan logam atau makanan atau buah-buahan padaku, senangnya tak terkira. Uang receh yang bisa aku belanjakan untuk permen atau makanan. Bagi ibuku, mungkin itu tak seberapa, melihat anaknya diberikan uang oleh tetangga yang kami kirimi makanan. Tapi, bagiku itu sungguh menyenangkan!

Aku tahu, tak ada niat untuk mendapat balasan. Bukan pamrih. Kendati kami bisa dikatakan tidak begitu kaya dengan harta, tapi kalau untuk hasil-hasil bumi dari sawah dan ladang, Insya Allah ada. Sementara tetangga-tetangga kami yang berprofesi sebagai guru, pegawai negeri, dan buruh biasa, bisa ikut pula mencicipi itu. Ya, karena kadang tidak semuanya habis kami makan. Tak ada salahnya dibagi.

Ibu, sekali lagi mengajarkanku untuk berbagi. Berbagi pada orang-orang terdekat. Setelah keluarga, ya…tetangga.

Ah, Ramadhan kali ini, aku merindukan saat-saat itu…

Semoga ibuku mendapat kelapangan di alam kuburnya dengan perbuatan-perbuatan kecil nan baik yang ia lakukan selama hidupnya menjalani Ramadhan demi Ramadhan… Amin.

Surabaya, 9 Ramadhan 1432 H

27 Desember 2010

Ibu... Selintas Lalu

besok, hari ibu.

tapi, tanpa hari ibu pun, aku masih bisa mengenangnya. setiap hari. tanpa perlu menunggu momen spesial tertentu untuk menghambur-hamburkan kata cinta. sebab, ia sendiri adalah cinta yang telah terjelma.

dan, aku sudah lama tak menulis tentang dia. tentang ibuku. blog yang aku bikin khusus untuk menuliskan segala kenangan tentang dia pun, sudah lama tidak ku-update. kangen itu, tentu saja ada. ide itu, bisa aku pungut dan tetaskan. tapi, selalu saja ada alasan-alasan lain yang menebas jalanku untuk menulis. ah, ini sebenarnya excuse. aku sendiri benci jika excuse-ku itu terlalu excusing.

menulis ini pun karena beberapa teman menuangkan demam rindu dan cinta mereka lewat status facebook. dan, sewaktu aku baca, serta-merta terdorong dari dalam hati ini untuk menulis sepatah dua patah ranting kata tentang ibu. awalnya dalam bentuk puisi. tapi, kau tahu sendiri. jemariku telah mengantar sampai di sini.

apakah kejaranganku menangis dan bernostalgia akan ibu, dikarenakan aku telah jadi manusia sibuk? momen-momen merenungku banyak dicuri oleh hal-hal lain? atau karena aku sendiri sudah punya sosok pengganti yang aku pun tidak begitu lekat? atau karena perhatianku telah tercuri oleh buku-buku dan tantangan-tantangan lainnya sehingga sekadar meluangkan waktu berkontemplasi tentang ibu, telah menjadi hal yang asing? kiriman doa untuk beliau pun tak lagi memunyai daya sengat? tak seperti yang dulu...

ada kalanya, kangen berat masa-masa itu. saat aku banyak menetaskan pikiranku tentang beliau. hingga deretan tulisan tercipta. tapi, aku berpikir... terlarut dalam kubangan kenangan juga berbahaya. aku bisa jadi berputar-putar di situ tanpa ada progresivitasan dalam hidup. jadi, kukubur sejenak pecahan-pecahan memori yang menjelaga itu. lanjutkan kehidupan ke etape-etape berikutnya.

ibu pun, andai masih hidup saat ini, pasti akan senang melihatku membuat kemajuan-kemajuan dalam hidup. *heh? aku bikin kemajuan apa?* mungkin aku akan rajin bercerita pada beliau tentang diriku dan prestasi-prestasiku. ada yang kumintai doa tiap kali berjuang menggapai sesuatu. amboi! doa seorang ibu itu, paling nikmat, menurutku!

tapi, sudahlah. telalu cemen jadinya kalau banyak bertekuk lutut, memandang ke belakang. padahal, aku cuma butuh percaya saja bahwa skenario tuhan yang indah telah terbentang lebar. percaya dan menjalani sisa hidup ini dengan penuh optimisme. aal iz well. semua akan baik-baik saja selama aku juga baik-baik sama tuhan.

mengenai ibu? dia, tentu saja, tetap nomor satu! sumber inspirasi dan salah satu kekuatan untuk terus bertahan menghadapi gelombang kesulitan. karena, aku yakin, tiap orang butuh inspirator - atau pahlawan - dalam hidupnya, yang mampu terus membakar semangatnya.

ibu, dialah orangnya. bagiku.


rabu malam, ibuku sayang...
lelaplah kau di sana, di dalam dekap tuhan.
'kan kurekatkan doaku pada nyala-nyala malam
yang berbau hujan dan kasih sayang
untukmu, seorang.


*catatan ini saya poskan sebelumnya di note facebook pada malam sebelum Hari Ibu*

05 September 2010

Belum Jua Nyekar

Sebulan lebih dua minggu...

Saya berada di kampung halaman, Lombok. Dalam rangka liburan semester sekaligus magang di salah satu perusahaan media terbesar di NTB.

Satu bulan pertama saya habiskan dengan liburan. Menemani kawan-kawan dari Surabaya yang menghabiskan 5 hari di Lombok untuk piknik. Lalu, hari-hari berikutnya saya isi dengan membaca dan menulis saja. Sesekali mengantar bapak ke kantor, membantuk beresin rumah, tidur, dan bermain - mengunjungi kawan-kawan. Selebihnya, kekhawatiran karena tempat magang belum juga memberikan respons positifnya.

Tepat, pada hari kemerdekaan 17 Agustus, saya bertolak ke Mataram. Atas saran ibu. Sebenarnya sih, atas desakan dari orang-orang sekitar. Juga kegelisahan saya sendiri akan janji pada dosen untuk magang. Bohong di bulan puasa, bahkan sempat saya jabani. Dengan mengatakan bahwa saya telah diterima magang di kantor berita 'itu'. Meski, saya cukup beruntung karena sempat mengikuti safari Ramadan petinggi di kabupaten dan mengabarkannya di Facebook - untuk dijadikan alibi bahwa saya sedang magang bekerja dan meliput berita - namun, lama-lama hal itu memuakkan saya.
Sempat pula saya ingin berdalih bahwa saya bukan wartawan yang magang di kantor itu, namun sebagai narablog untuk sebuah situs jurnalisme warga. Namun, saya tidak ingin melanggengkan perbuatan 'membohongi diri sendiri' itu.

Dan, gayung bersambut. Setelah semalam sebelumnya saya mengadu pada DIA. Pada Selasa malam itu, saya pun dilepas dengan doa dan duit (hehehe) oleh orang tua. Saya harus dapat tempat magang (yang pasti)! Bismillah...

Keesokan harinya, dengan menekan-nekan luapan rasa segan - tepatnya, malas - pada diri, saya mendatangi kantor berita terbesar di NTB itu. Jawaban menggembirakan saya peroleh sehari setelahnya. Saya diterima dan mulai bekerja. Hingga detik saya menuliskan jurnal ini (yang saya ketik di ruang redaksi).

Sebenarnya, inti yang ingin saya ungkapkan di sini adalah... saya belum jua sempat mengunjungi makam ibu. Saya terlanjur termakan keasyikan yang saya ciptakan sendiri. Memang, lingkungan magang saya sangat mengasyikkan. Dinamika, ketikdakmonotonan, dan tantangan yang saya idam-idamkan telah saya dapatkan. Itu makin membuat saya sedikit alpa pada makam ibu. Sekadar berkunjung. Sekadar menabur air atau bunga kamboja di atas makam beliau. Sekadar mencabuti rumput-rumput liar yang tumbuh di sela-sela nisan beliau. Ya, sekadar...

Doa, tentu saja masih terus tertiupkan. Namun, kedekatan fisik juga, saya pikir, perlu ditempuh. Mengingat mati. Mengenang beliau. Mencium aroma ketenangan.

Lebaran nanti, seusai salat iedul fitri, saya berjanji untuk menyambung tali rasa dan doa di pembaringan abadi beliau...


27 Ramadan 1431 H

17 Juli 2010

Pelajaran dari Daoed Joesoef

“AlANGKAH BAHAGIANYA mempuanyai emak. Dia yang membesarkan aku dengan cinta keibuan yang lembut. Dia yang selalu memberikan aku pedoman di dalam perjalan hidup. Dia yang, di setiap langkah, tahap dan jenjang, membisikkan kepada harapan…”

Epilog dari buku 'Emak' yang ditulis oleh Daoed Joesoef ini saya temukan di sini. Betapa saya tiba-tiba teringat pada judul buku yang sempat saya pegang di Togamas kemarin malam (16/07). Lalu, saat sedang daring, saya pun iseng mencari informasi buku tersebut di Goodreads.com. Komentar dari para pembaca benar-benar membuat saya makin tertarik. Lantas, saya cari pula informasi tambahan melalui Google.

Saya putuskan untuk - Insya Allah - membeli buku ini besok. Jadi oleh-oleh buat saudara saya di Lombok. Tentu saja, untuk saya baca juga sekalian bernostalgia dengan kenangan antara saya dan Inaq - panggilan saya buat ibu.

Dari catatan Mbak Jemie Simatupang, saya juga memeroleh informasi bahwa Daoed Joesoef lahir di Medan, 8 Agustus 1926. Pendidikannya dimulai di Medan hingga akhirnya meraih gelar doktor di Universitas Sorbonne pada tahun 1972. Konon, itu merupakan gelar doktor pertama bagi orang Indonesia plus cum laude pula. Selain pernah menjabat sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Depdikbud), Daoed Joesoef juga pernah menjadi Anggota DPA (Dewan Pertimbangan Agung). Kedua jabatan tersebut pada zaman Orde Baru.

Pada paragraf-paragraf selanjutnya, saya membaca bagaimana seorang Emak menanamkan pelajaran hidup pada Daoed Joesoef dalam berbagai hal. Padahal emaknya bukan dari kalangan berpendidikan. Namun, keyakinannya pada kesuksesan yang akan mudah diraih dengan ilmu, menjadikannya bercita-cita tinggi untuk menyekolahkan anak-anaknya, termasuk Daoed Joesoef.

Sampai pada penjelasan itu, saya tercenung. Saya teringat pada Inaq saya. Pada pesan beliau selama masih hidup yang diestafetkan melalui bapak juga nasehat kakak-kakak saya bahwa: KAMI SEMUA HARUS SARJANA! Harus menempuh pendidikan perguruan tinggi. Sungguh, saya tak bisa membayangkan bagaimana bahagia beliau jika nanti melihat kami semua - anak-anaknya - telah menggenggam gelar sarjana. Saya sendiri, saat ini, sedang berjuang memasuki semester tujuh. Berharap sekali untuk lulus tepat 4 tahun. Pertengahan tahun 2011 nanti, saya bertekad untuk lulus dari Ilmu Hubungan Internasional.

Saya ingin membuat Inaq bangga di alam sana. Saya ingin membahagiakan bapak yang selama ini telah membiayai pendidikan saya. Juga membuat bangga dan berkontribusi pada keluarga dan masyarakat. Bagaimana saya selalu tepekur tiap kali mendapat pesan pendek nasehat dari bapak. Misalnya, pesan pendek yang beliau kirimkan pada 12 Juli 2010 setelah keinginan saya mempunyai kamera digital terkabul, "Rajin-rajinlah BELAJAR DAN MEMANFAATKAN WAKTU DALAM MENUNTUT ILMU, itulah harapan bapak, ibu dan semua keluarga dan saudara2 anakda di Lombok."

Inaq, Bapak, Ibu, Kakak-kakak, dan Adik-adik: TIANG AKAN MEWUJUDKAN ITU SEMUA!



N.B. Tiang = Saya (bahasa Sasak, red)
Inaq = Ibu (bahasa Sasak, red)
Saya punya dua ibu. Ibu kandung saya panggil 'Inaq'. Ibu tiri saya panggil 'Ibu'.

14 Juni 2010

Ruang Shalat

Ada satu ruangan kecil di rumah kami yang lama. Ruangan tersebut terisi oleh sebuah meja, lemari berpintu kasa, dan sebuah dipan dengan kasur tipis. Kadang kardus dan beberapa jenis benda lainnya disimpan di situ. Disebut gudang juga kurang tepat. Sebab, di situlah, di atas dipan, ibu saya kerap membentangkan sajadah lusuhnya dan beribadah lima waktu.

Ruangan itu terdapat di bagian selatan rumah kami. Berdekatan dengan dapur pula kamar mandi. Mungkin itu alasan ibu memilih ruangan tersebut sebagai tempat shalat. Sehabis lelah bekerja di dapur dan menunaikan tugas melayani kami untuk makan, misalnya, ibu bisa bergegas ke ruangan itu dan menggenapkan segala amalannya.

Namun, ibu tidak melulu shalat di situ sebab di samping belakang rumah kami terdapat mushola. Mushola Al-Fatah. Namanya dicomot dari nama saya karena memang awal mula pendiriannya saat saya baru lahir, yakni di tahun 1988. Hingga saat ini, mushola tersebut masih kokoh berdiri. Bersih dan semakin rapi. Cat luarnya telah diperbarui. Oke, bangunan fisik memang berubah jadi lebih bagus. Ironisnya, suara ramai anak-anak yang mengaji sedari magrib hingga isya, kini sudah mulai jarang. Maklum, anak-anak tetangga di sekitar lingkungan kami rata-rata telah beranjak remaja dan dewasa. Ada yang telah berumah tangga, ikut suaminya ke kampung lain, melanjutkan sekolah di luar kota, bahkan di luar pulau. Contohnya, saya.

Baik. Sedikit saja saya bahas mushola tersebut. Kembali ke topik awal mengenai ibu saya.

Nah, sekalipun ruangan tersebut tetap ‘istimewa’ buat beliau, namun keberadaan mushola tidak beliau kesampingkan. Shalat berjamaah, meraup pahala berlipat, siapa yang tidak mau? Apalagi – maaf – mengingat usia yang makin tua, di atas lima puluh, adalah suatu kesadaran yang baik untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas ibadah. Sebab, siapa yang tahu kapan malaikat maut kapan datang menjemput. Tak seorang pun. Namun, alangkah beruntungnya manusia yang diberikan tanda-tanda akan hal itu. Setidaknya, dia tetap waspada dan berusaha untuk selalu lebih baik dari hari ke harinya. Menanam amal kebaikan dalam tiap detak jantungnya. Untuk dipanen nanti ketika memasuki etape kehidupan berikutnya. Insya Allah ibu saya menyadari akan hal itu.

Ruangan itu. Ruangan yang sejak 2007 tidak saya ketahui lagi rupanya seperti apa. Sebab, rumah yaang pada mulanya rumah untuk keluarga besar, telah disewakan. Ini terkait pula persoalan warisan. Jadi, mau tidak mau, bapak memboyong kami sekeluarga ke rumah baru. Tidak begitu jauh sebenarnya dari rumah lama. Berjalan kaki sepuluh menit, bisalah sampai. Saya meski beberapa kali sempat menengok rumah lama, itu sekadar memandang luarnya saja. Tidak masuk. Menyesapi kenangan demi kenangan yang telah tertanam hampir 18 tahun saya hidup di rumah lama tersebut. Tidak masuk. Hanya berusaha mengekalkannya di dalam ingatan saja. Apalagi saya mengalami beragam momen dengan ibu, di rumah tersebut. Tak sedikit juga beliau sempat mencicipi tinggal di rumah baru kami yang sekarang. Ya, beliau terlebih dulu menempati rumah barunya di alam lain.

Semoga ibu senantiasa mendapat siraman cahaya Surga. Dan, ruang ibadah beserta benda-benda di dalamnya itu bisa menjadi saksi di akhirat kelak akan ketaatan beliau shalat lima waktu.

Amin… Ya Robbal ‘Alamiiin…