16 Juni 2008

Satu by Dewa: Episode Biru Saya

(baca tulisan saya ini sambil dengerin Satu-nya Dewa)

Aku ini adalah dirimu
Cinta ini adalah cintamu
Aku ini adalah dirimu
Jiwa ini adalah jiwamu
Rindu ini adalah rindumu
Darah ini adalah darahmu

Reff:
Tak ada yang lain
Selain dirimu
Yang selalu kupuja
Kusebut namamu
Di setiap hembusan napasku
Kusebut namamu 2x

Dengan tanganmu
Aku menyentuh
Dengan kakimu
Aku berjalan
Dengan matamu
Aku memandang
Dengan telingamu
Aku mendengar
Dengan lidahmu
Aku bicara
Dengan hatimu
Aku merasa

Back to reff:



SATU…
Lagu dari album Laskar Cinta ini membuat saya merinding tiap kali mendengarnya. Ada chemistry yang membuat bulu kuduk berdiri. Tidak lain dan tak bukan sebab BUNDA SUDAH TIDAK LAGI DI SINI. Ia sudah ada di sana. Bersemayam di dalam Rahim-Nya.

Saya tidak akan pernah lupa. Beliau telah meninggalkan kami tiga tahun yang lalu, tepat di bulan Juli. Saat itu saya masih kelas dua SMA, mau naik kelas tiga. Belum pula genap sebulan saya merayakan ulang tahun yang jatuh di bulan Juni. Saat di mana saya sedang butuh-butuhnya kiriman doa, bingkisan dukungan, dan pompaan semangat menjelang UNAS.

Ah… Allah punya rencana yang jauh lebih baik dari yang dikira hamba-Nya.

Saat itu rumah kami diselimuti awan duka yang begitu tebal. Jika saya sedang berada di kamar beliau, seringkali saya merasa beliau ada di sana. Jika saya sedang melamun, seringkali beliulah yang saya lamunkan. Jika saya sedang berdoa, wajah beliaulah yang sering muncul.

Namun, belakangan ini, setelah kami pindah rumah, setelah saya kuliah di Tanah Jawa, setelah saya mulai digeogoti kesibukan dunia, perlahan-lahan rindu itu memudar. Rindu pada ibu memudar. Rindu untuk membacakan yasin padanya tiap malam Jumat. Rindu untuk mendoakannya secara khusyu’ tiap habis shalat. Rindu untuk mengenangnya lewat renungan-renungan. Rindu itu…memudar, Kawan!

Saya merasa mulai jadi anak yang kurang lancang. Mana mungkin doa saya tersampaikan padanya jika saya sendiri menjauhkan diri dari predikat ‘anak shaleh’. Bagaimana mungkin doa saya bisa terkirim jika saya sendiri seringkali berbuat dosa. Bagaimana mungkin?

Namun, saya yakin Allah takkan membiarkan saya begini selamanya. Saya meyakini hal itu dengan mengacu pada beberapa hal. Pertama, tiap kali melihat seorang ibu tua atau juga nenek-nenek di jalanan, maka saya pasti akan teringat dengan sosok ibu saya.

Kedua, tiap kali saya melihat atau membaca atau mendengar cerita yang ada peran ibunya dalam karakter sederhana, maka saya akan mengingat sosok almarhumah ibu saya.

Ketiga, tiap kali mendengar lagu Satu-nya Dewa, saya akan ingat bagaimana lagu ini diputar di televisi, menemani hari-hari kami selama menjaga ibu di rumah sakit. Sebuah lagu dengan makna dalam dan sangat menyentuh. Tak heran jika saya akan selalu ingat ibu jika mendengarkan lagu ini.

Keempat, blog inilah salah satu reminder bagi saya. Pengingat saya. Bahwa saya takkan membiarkan sosok almarhumah ibu saya menghilang, lenyap begitu saja dari kaset ingatan saya. Saya ingin merekam beliau dan mengenangnya lewat tulisan-tulisan saya di blog ini.

Namun, di antara keempat jalur ‘pengingatan’ sosok bernama Muslimah, ibu saya, maka yang lebih sering mengena dan langsung ber-chemistry dengan hati saya adalah… saat mendengarkan Satu-nya Dewa…



Surabaya, 16 Juni 2008

Bunda dalam Badai Damai

Dalam badai, aku tersenyum.
Bundaku terlelap subuh tadi.
Ada galau menguntit,
Namun berusaha aku halau.
Ada marah mengintip,
Namun berusaha aku tepis.

Aku saksikan waktu beku
Aku saksikan biru membatu
Namun, ah... semua sudah tentu
Tak perlu diharu-deru.

Bunda...
Aku rela kau dalam badai-Nya
Badai damai...