11 Mei 2010

Muslimah, Bukan Guru Andrea Hirata, Tapi...

Anda pernah membaca novel atau menonton film berjudul “Laskar Pelangi”? Tentu sosok Ibu Muslimah sudah tidak asing lagi. Ya, beliau adalah guru si Ikal semasa duduk di sekolah dasar. Guru yang menginspirasi seorang Andrea Hirata untuk menuliskan kisah beliau dan perjuangan kawan-kawannya selama menuntut ilmu di SD Muhammadiyah Belitong itu. Maka, lahirlah sebuah karya besar dan fenomenal yang kemudian difilmkan dan berhasil menyedot lebih dari 4 juta penonton. Istimewa!

Bila di dalam Laskar Pelangi, Muslimah adalah seorang guru, maka dalam kehidupan saya, Muslimah adalah seorang ibu kandung. Ya, itulah nama sosok perempuan yang dari rahimnya saya terlahir ke dunia. Muslimah binti H. Muhammad Yunus. Muslimah yang berhasil menjadi ibu rumah tangga hebat, setidaknya di mata saya. Muslimah yang Insya Allah mencerminkan namanya. Muslimah yang mampu menderaskan sumur ide saya untuk terus menulis tentang beliau. Sebagai bukti, sebuah jurnal elektronik alias blog bahkan saya buat khusus untuk mengenang beliau yang kini telah berada dalam pelukan cinta-Nya.

Pertengahan Juli 2005…

Tepat saat azan Subuh dikumandangkan, beliau menuntaskan kewajibannya sebagai manusia, sebagai istri, sekaligus sebagai ibu. Saya yang saat itu masih kelas 2 SMA, belum percaya dengan kepergian beliau. Berdiri di depan cermin, saya memandang diri dan menggumam, “Piatukah aku kini? Seorang Fatah sudah tidak beribu lagi?”

Kesadaran saya semakin mendapat jawaban tatkala saya mengikuti semua prosesi pemakaman beliau. Bersama saudara yang lain, membopong jenazah beliau yang telah dimandikan dan dikafani ke ruang tengah. Mencium wajah beliau untuk terakhir kalinya. Menyalatjenazahkan beliau. Membacakan ayat-ayat suci terakhir kalinya di depan sosok terbujur kaku ibu. Mengiringi jenazah beliau ke masjid untuk dishalatkan kembali, lantas ke Pekuburuan Gayong. Di sanalah, ketika jasad ibu diturunkan ke dalam liang yang basah, saya baru yakin benar, antara saya dan ibu sudah berbeda alamnya. Sore itu, langit berwarna senada dengan jiwa saya. Kelabu.

Lantas, hari-hari saya berikutnya diisi oleh gelombang kenangan mengenai beliau. Rumah serasa kosong. Ada yang hilang. Tentu. Meskipun bapak dan delapan saudara saya yang lain masih ada, namun keganjilan itu tidak bisa kami tepiskan. Ketika saya masuk ke kamar ibu, misalnya, akan terbayang bahwa ibu saya masih di situ. Tiduran di kasur karena kelelahan mengurus sekian banyak anaknya sepanjang hari. Bayangan saya, beliau juga masih duduk di kursi kayu itu, menekuri ayat-ayat-Nya selepas Maghrib. Bayangan saya, beliau tiap pagi tetap akan membuka lemari bercermin itu, kemudian mengambil beberapa lembar uang dan recehan untuk dibagikan secara adil pada anak-anaknya. Saya mengenang beliau dalam puisi-puisi dan curhatan hati di sebuah buku harian. Itu kala rindu saya sudah tidak tertahankan.

Subuh hari, saya bangun dan beranjak ke kamar mandi yang berdampingan dengan dapur. Sebuah dapur tradisional dengan tiga tungku tanah liat dan onggokan kayu bakar. Saya tidak lagi menemukan sosok ibu saya di situ. Sosok yang selalu bangun pagi paling awal, lantas menyalakan kayu bakar, dan menjerang air dengan ketel berpantat hitam di atas tungku. Air itu kemudian dipindahkan ke termos, lalu air berikutnya dijerang lagi karena belum cukup. Air panas itulah yang nantinya akan terhidang sebagai kopi untuk bapak, susu untuk kami, atau rebusan mie.

Saat bapak berangkat ke kantor dan kami ke sekolah masing-masing, ibu akan menjalankan tugas mulianya sebagai ibu rumah tangga. Ke pasar, memasak, membersihkan rumah, mencuci, dan berbakti pada ibunya (nenek kami) yang tinggal satu atap dengan kami. Siapa yang tidak girang saat pulang ke rumah dalam keadaan lapar, masakan telah terhidang. Ibu mendisiplinkan kami agar mengganti seragam sekolah dulu, baru mulai makan. Terkadang, beliau akan menemani anak-anaknya makan sambil bercerita mengenai ini-itu. Tidak jarang pula kami makan ditemani tontonan televisi, sementara beliau rehat siang.

Rutinitas beliau sebagai ibu rumah tangga sempat terkoyak semasa saudara bungsu saya, Arif, harus menanggalkan masa pengasuhannya di rumah untuk masuk Madrasah Ibtidaiyah No. 3 Pancor. Orang tua saya sepakat menyekolahkan Arif di situ karena dalam keluarga kami, sekolah setingkat SD tersebut memiliki riwayat yang jempolan. Hampir semua paman dan bibi saya mengawali pendidikan dasar formal di situ. Bahkan, saya dan tujuh saudara kandung saya juga bersekolah di situ, kecuali si Uswatun yang masuk SD No. 4 Pancor. Nah, sekarang giliran si bungsu.

Tidak seperti saudaranya yang lain di sekolah baru, Arif mengalami phobia sekolah. Dia merasa tidak nyaman harus berangkat sendiri ke sekolah dan menjalani kegiatan belajar di kelas. Jika tidak ada yang mengantar, dia mengancam untuk tidak sekolah. Menangis dan meronta-ronta menolak. Karena bapak tidak bisa meninggalkan kantor dan kami, kakak-kakaknya harus sekolah, maka ibu mengambil keputusan untuk mengantarkan si Arif. Naik dokar tiap pagi.

Masih mending sekadar mengantarkan. Ini tidak. Si Arif mengancam mogok sekolah jika ibu tidak menemaninya sepanjang pelajaran di dalam kelas. Bayangkan? Arif yang sudah berumur enam tahun, tidak mengecap bangku TK memang, harus ditemani oleh ibu di dalam kelas. Duduk berdampingan! Begitu selama satu semester sebelum dia akhirnya dipindahkan ke SD No. 4 Pancor.

Setelah ibu tiada, barulah saya memikirkan hal itu. Selama satu semester menemani si bungsu belajar di kelas, duduk satu meja, menjadi satu-satunya orang tua murid yang ‘kembali’ mengenyam bangku sekolah dasar, menahan rasa malu karena akhirnya terdengar juga cemoohan para guru, apa sebenarnya yang menggerakkan hati ibu saya? Mengapa beliau bertahan? Mengapa si Arif tidak disekolahkan saja di rumah? Mengapa dan mengapa? Lalu, terbukalah pikiran saya. Semua ini dilakukan oleh ibu demi masa depan anaknya. Demi cita-cita dan mimpi beliau agar kesembilan anaknya mengenyam pendidikan tinggi, minimal menggenggam gelar sarjana. Entah berhubungan atau tidak, beliau sendiri sepertinya berkeinginan sekolah yang lebih tinggi lagi jika saja tidak dilamar oleh bapak begitu beliau lulus Madrasah Aliyah (setingkat SMA).

Satu hal lagi yang membuat saya istiqomah di dunia kepenulisan dan ber-azzam kuat menulis kisah ini, juga tidak terlepas dari sokongan semangat dan doa ibu semasa hidup dulu. Prestasi pertama saya di dunia menulis, yakni sebagai juara II menulis puisi tingkat pelajar se-NTB, membuat ibu saya bangga tiada terkira. Ibulah yang pertama kali saya bisikkan agar saya dibelikan komputer, dan beliau mendukung penuh. Ibulah yang kemudian membuat saya merona malu dengan bercerita pada para tamu bahwa saya mempunyai bakat menulis. Ibulah orang pertama dan utama saya mintai doa restu tiap kali saya hendak mengikuti lomba apapun, termasuk lomba menulis.

Kini, saat saya mengikuti lomba menulis biografi ibu ini, saya tahu saya tidak bisa meminta doa ibu lagi. Namun, satu hal tertanam kuat dalam diri saya. Doa ibu, sekalipun sosoknya sudah tiada, akan tetap bergema dan berpendar di langit-langit jiwa saya. Atau bisa saja, doa yang beliau ucapkan secara tulus ikhlas semasa hidup dulu, memang diijabahi oleh Allah Swt. dan tidak akan pernah habis masa berlakunya. Tentu, doa beliau tersebut saya imbangi dengan doa dan usaha maksimal saya.

Rabbighfirli wa liwaalidayya warhamhumaa kamaa robbaya nii shagiiraa… Ya Allah, ampunilah saya dan kedua orang tua saya, sayangilah mereka sebagaimana mereka menyayangi saya sewaktu kecil…


NB: Tulisan ini diikutsertakan dalam Kontes Blog: Berbagi Kisah Sejati, yang diselenggarakan oleh Anazkia. Lomba ini juga disponsori oleh Denai Hati.

Bagi teman-teman yang ingin mengikuti kontes ini, silakan meluncur ke blog Mbak Anazkia :) Terima kasih.