05 September 2010

Belum Jua Nyekar

Sebulan lebih dua minggu...

Saya berada di kampung halaman, Lombok. Dalam rangka liburan semester sekaligus magang di salah satu perusahaan media terbesar di NTB.

Satu bulan pertama saya habiskan dengan liburan. Menemani kawan-kawan dari Surabaya yang menghabiskan 5 hari di Lombok untuk piknik. Lalu, hari-hari berikutnya saya isi dengan membaca dan menulis saja. Sesekali mengantar bapak ke kantor, membantuk beresin rumah, tidur, dan bermain - mengunjungi kawan-kawan. Selebihnya, kekhawatiran karena tempat magang belum juga memberikan respons positifnya.

Tepat, pada hari kemerdekaan 17 Agustus, saya bertolak ke Mataram. Atas saran ibu. Sebenarnya sih, atas desakan dari orang-orang sekitar. Juga kegelisahan saya sendiri akan janji pada dosen untuk magang. Bohong di bulan puasa, bahkan sempat saya jabani. Dengan mengatakan bahwa saya telah diterima magang di kantor berita 'itu'. Meski, saya cukup beruntung karena sempat mengikuti safari Ramadan petinggi di kabupaten dan mengabarkannya di Facebook - untuk dijadikan alibi bahwa saya sedang magang bekerja dan meliput berita - namun, lama-lama hal itu memuakkan saya.
Sempat pula saya ingin berdalih bahwa saya bukan wartawan yang magang di kantor itu, namun sebagai narablog untuk sebuah situs jurnalisme warga. Namun, saya tidak ingin melanggengkan perbuatan 'membohongi diri sendiri' itu.

Dan, gayung bersambut. Setelah semalam sebelumnya saya mengadu pada DIA. Pada Selasa malam itu, saya pun dilepas dengan doa dan duit (hehehe) oleh orang tua. Saya harus dapat tempat magang (yang pasti)! Bismillah...

Keesokan harinya, dengan menekan-nekan luapan rasa segan - tepatnya, malas - pada diri, saya mendatangi kantor berita terbesar di NTB itu. Jawaban menggembirakan saya peroleh sehari setelahnya. Saya diterima dan mulai bekerja. Hingga detik saya menuliskan jurnal ini (yang saya ketik di ruang redaksi).

Sebenarnya, inti yang ingin saya ungkapkan di sini adalah... saya belum jua sempat mengunjungi makam ibu. Saya terlanjur termakan keasyikan yang saya ciptakan sendiri. Memang, lingkungan magang saya sangat mengasyikkan. Dinamika, ketikdakmonotonan, dan tantangan yang saya idam-idamkan telah saya dapatkan. Itu makin membuat saya sedikit alpa pada makam ibu. Sekadar berkunjung. Sekadar menabur air atau bunga kamboja di atas makam beliau. Sekadar mencabuti rumput-rumput liar yang tumbuh di sela-sela nisan beliau. Ya, sekadar...

Doa, tentu saja masih terus tertiupkan. Namun, kedekatan fisik juga, saya pikir, perlu ditempuh. Mengingat mati. Mengenang beliau. Mencium aroma ketenangan.

Lebaran nanti, seusai salat iedul fitri, saya berjanji untuk menyambung tali rasa dan doa di pembaringan abadi beliau...


27 Ramadan 1431 H