08 Desember 2007

Surau Ibu

Surau ibu akhirnya berdiri juga. Tepatnya, musholla. Tapi, aku lebih suka menyebutnya surau. Biar terasa lebih ‘desa’. Kebetulan, rumah peninggalan orang tuaku ini terletak di desa. Jadi, meskipun aku lumayan lama tinggal di kota, namun, jujur saja, aku lebih menyukai desa. Tenteram dan damai rasanya.

Surau ini adalah wasiat ibu. Kami, anak-anaknya, diminta untuk membangun dan meniatkannya untuk beliau. Biar jadi amal jariyah.

Sepeninggal ibu, kami tak segera melaksanakan wasiatnya. Aku dan keempat saudaraku sempat beberapa kali merundingkan ini, tapi tampaknya mereka lebih sibuk mengurus harta warisan. Sibuk pula dengan keluarga dan pekerjaan. Jadilah, wasiat ibu ini terlantar hingga lima tahun lebih.

Aku, jika bukan karena masalah jarak dan waktu, sesegera mungkin ingin menunaikan wasiat ini. Bisa saja aku iri dan sedikit marah dengan kakak-kakakku. Notabene, mereka masih tinggal satu kabupaten dengan rumah ibuku. Mengapa mereka tidak bahu-membahu membangun surau itu? Apa mesti menunggu aku hadir di tengah mereka? Padahal kalau mau, Kang Sutan bisa saja menyuruh tukang. Dalam sebulan, jadi. Bukankah Kang Sutan seorang kontraktor yang kaya? Beberapa proyek bernilai milyaran pernah ditanganinya? Tapi, kok sulit sekali rupanya membangun sebuah surau sederhana?

Tiga kakakku yang lain, perempuan semua, sudah bersuami. Mbak Marni, punya salon lumayan ternama dan bersuamikan seorang pegawai bank pula. Mbak Lia yang suaminya bekerja di Kantor Bupati, sehari-harinya membimbing anak-anak yang kursus menjahit di rukonya. Kakakku yang terakhir, Mbak Nina, penjaga kantin di sebuah SMP di kota kabupaten, tempat suaminya mengajar. Lalu, aku sendiri? Hmmm… Tinggal di Surabaya dengan istri dan dua anak, cuma jadi penarik becak? Tak patut dibanggakan.

“ Kang, Mbakyu, bagaimana dengan wasiat ibu? Bukankah sudah lima tahun lebih wasiat itu beliau ucapkan pada kita?” Lebaran, dua bulan yang lalu, aku berkata. Lagi-lagi aku yang membuka. Tepatnya, mengingatkan mereka.

“ Kamu maunya kapan?” Mbak Marni bertanya.

“ Loh, Mbak kok bilang gitu? Ya, kalau aku sih secepatnya!” ujarku.

“ Emangnya Kamu sudah punya duit berapa sampai mau cepat-cepat bikin surau itu?” Kang Sutan angkat bicara. Bibirnya dari tadi tak henti-hentinya mengeluarkan asap rokok. Dua bungkus mild hanya tinggal dua batang tersisa.

“ Kok aku, Bang? Sepertinya aku yang Abang salahkan?”

“ Kalau tidak nyalahin Kamu, terus siapa lagi?” Nada bicara Kang Sutan meninggi. Aku kaget. Tak percaya kalimat yang barusan aku dengar.

“ Iya, Kamu, Din! Memangnya Kamu pikir nggak punya tanggung jawab pada persoalan ini? Hanya gara-gara Kamu bungsu di antara kami?” Sejak ibu meninggal, Mbak Lia yang biasanya pendiam, jadi terlihat makin banyak bicara.

Entah kenapa. Aku benar-benar tak habis pikir. Semua saudaraku tiba-tiba saja berubah semenjak ibu tiada. Kang Sutan jadi makin kelihatan angkuh. Ia terlihat mulai menjaga jarak dengan kami, lebih-lebih padaku. Apa ia pikir, aku yang tukang becak ini, akan meminta duit padanya? Sebab, ketika masih hidup, ibu seringkali mengirimiku uang. Sumpah, aku tidak pernah minta dikirimi. Aku dan istriku justru jadi malu terhadap saudara-saudaraku. Sudah berkeluarga kok masih disuapin orang tua?

Kang Sutan, Mbak Marni, Mbak Lia, dan Mbak Nina tahu perihal ini. Aku tahu, uang yang diberikan ibu padaku berasal dari kantong-kantong mereka juga. Ibu tak punya uang banyak. Kalau hanya mengandalkan hasil sawah dan kebun, tentu tidak cukup membiayai kebutuhan hidup ibu dan dua pembantunya, Bi Parliah dan Pak De Memet yang memiliki tiga anak itu. Makanya, keempat kakakku sering memberi ibu uang. Lalu, entah kenapa juga, ibu justru mengirimiku sebagian. Aku, tentu saja tak pernah berharap. Justru, sebisa mungkin aku yang menyisihkan sedikit rezekiku untuk ibu.

Aku yakin, inilah salah satu penyebab kakak-kakakku terlihat makin membenci aku.

“ Sehari Kamu dapat duit berapa?” tanya Mbak Marni suatu ketika. Saat itu ia sedang mampir di rumahku karena ada order merias pengantin, teman suaminya.

“ Wah, nggak tentu ya, Mbak! Apalagi sejak empat bulan yang lalu ojek diizinkan beroperasi di sekitar sini. Pendapatan makin nggak jelas. Sehari, paling banter sih lima puluh ribu. Kalau lagi sepi, palingan cuma lima belas ribu. Abang becaknya kan banyak. Ditambah ojek. Hmmm…Memang susah!”

“ Lima puluh ribu? Makan apa Kamu tiap harinya?”

Aku merasa pertanyaan Mbak Marni tidak bernada keprihatinan, namun lebih ke arah menyindir. Aku rasakan sekali itu.

Maka tak heran, setiap kali aku meminta keputusan mereka, kapan surau ibu dibangun, justru nada-nada sumbanglah yang justru aku terima. Terkadang begitu menusuk, kasar. Aku sebagai bungsu, seperti tak ada harganya di depan mereka.

“ Din, apa nggak lebih baik Kamu tinggal di sini saja? Urus rumah ibu! Kan, masih lebih mending ketimbang jadi tukang becak di kota. Kamu bisa bercocok tanam. Beternak ayam atau kambing.
Ngurus makam ibu. Dan, memikirkan pembuatan surau ibu itu… “

Astaghfirullah… Berkali-kali aku beristighfar dalam hati. Aku merasa tertuduh. Semua seperti
menyalahkanku. Semua gara-gara aku. Tapi, kenapa aku? Ada apa?
Bukan sekali dua kali aku meminta Bang Sutan, agar ia saja yang membangun surau ibu. Tentunya, aku juga bersedia menyumbang dana, meski tak seberapa. Namun, tanggapan Bang Sutan, sungguh di luar dugaanku.

“ Kamu itu yang anak ibu, bukan kami! Bayangkan, sudah berapa duit kami keluarkan untuk biaya hidupmu di kota?! Sekarang Kamu meminta aku lagi, memangnya gampang cari duit, heh?”

Mbak Nina berkata. “ Idin, perilakumu nggak berubah juga, ya? Terbiasa dimanja, begini nih akibatnya!”

“ Baik. Kalau Abang dan Mbak sudah nggak bersedia memikirkan surau itu, biar aku saja yang mendirikannya!” tandasku. Emosiku sudah tak bisa ditahan. Ucapan tanpa pikir panjang pun keluar.

Aku kembali ke kota dengan gumpalan marah dan sedih bercampur di dada. Aku rupanya dianggap bukan bagian dari mereka. Tak bisa kulukiskan perasaanku saat itu.

Ibu… Aku berjanji melaksanakan wasiatmu… Sungguh, aku janji…

Tujuh tahun lewat sudah. Sebuah surau, tepatnya musholla, akhirnya berdiri juga di samping kanan rumah ibu. Surau yang kubangun dari hasil kerjaku. Ya, dari hasil kerjaku. Bukan dari Bang Sutan, Mbak Marni, Mbak Lia, atau Mbak Nina. Bukan!

Din, target rumah no. XX Wisma X siap digarong. Kumpul di rumah bos nanti malam jam satu.
Sebuah sms dari Badot, temanku, muncul di layar hp.


Sekali lagi, kupandangi surau yang berdiri di hadapanku. Kelu. Maafkan aku, ibu…

Surabaya, 061207

03 Desember 2007

No Mother Will Pray Me…

NGGAK ADA LAGI SEORANG IBU YANG AKAN MENDOAKANKU…

Begitulah kalimat yang terngiang-ngiang di pikiranku setelah ibu meninggal dunia. Asal tahu saja, aku termasuk anak yang dekat dengan ibu. Saking dekatnya, aku paling suka minta didoakan ibu tiap kali aku akan lomba, ujian di sekolah, dan sebagainya. Sebab, aku yakin, doa ibu itu makbul banget.

Setelah dua tahun berkutat di dunia ini tanpa kehadiran beliau, aku benar-benar merasakan pentingnya seorang ibu. Nggak cuman sebagai sosok perempuan yang mengasuh, mengasah, mencurahkan kasih sayang, menasehati, mengingatkan hal-hal kecil yang biasanya aku lupakan, dan sebagainya, tapi peran seorang ibu ternyata lebih dari itu. Satu yang paling penting adalah mendoakan anak-anaknya agar senantiasa dalam kebaikan, dunia dan akhirat. Meskipun tahu beliau akan selalu mendoakan kami, anak-anaknya, namun aku suka ‘meminta’ lebih. Artinya, minta didoakan dalam hal-hal tertentu, semisal: lulus ujian, menang lomba, tuntas mengerjakan tugas, dan lain-lain.

Dua tahun yang lengang tanpa siraman doa beliau…

Aku merasakan perbedaan yang amat sangat. Aku benar-benar gamang. Aku butuh seseorang yang mendoakanku. Seseorang yang bisa menguatkanku, membelai hatiku dengan kata-kata lembutnya, membuatku bisa tenang melangkah ke sekolah, membuatku optimis menang lomba nulis, dan seseorang yang bisa kubuat tersenyum dengan prestasiku. Yeah, ibuku. Kurindu untaian doa-doanya selalu. Mengiringi langkahku. Doa ibu, amat sangat makbul, yakinku.
Mana doa ibu? Yang orisinil keluar dari hati tulusnya? Mana? Ya Allah, maksudMu apa???

Ibuku, Setahun di Bangku SD Adikku, Arif

             Demi Arif…

             Ibuku tidak malu dan sungkan, duduk sekelas bersama adikku dan anak-anak MI (Madrasah Ibtidaiyah) kelas satu, ikut belajar mulai pukul tujuh pagi hingga pukul setengah sebelas, naik delman, diliatin orang-orang, setiap hari selama satu tahun. Beliau satu-satunya ibu, waktu itu, yang jam masaknya harus dipindah agak siang gara-gara ikut sekolah bersama adikku.

            Kalau bukan karena ingin ngeliat anaknya pintar, ibu mana sih yang mau repot melakukan hal itu??? Dari poin itu, aku bisa ngeliat kalo pengorbanan seorang ibu itu ternyata jauh dari aku bayangkan sebelumnya. Rela berkorban, nilai moral yang sering aku dapatkan secara teori di dalam buku-buku PPKn, ternyata dicontohkan begitu rupa oleh ibuku.

            Arif, adikku bungsu, tidak mau berangkat sekolah jika tidak bersama ibuku. Dia lebih baik tidak sekolah atau merengek-rengek atau ‘melantai’ (bentuk protesnya pada ibuku). Memang sih adikku tidak sempat TK. Jadi, atmosfer sosialisasi dengan lingkungan sekolah belum sempat ia rasakan. Mungkin saja ia masih shock dengan guru baru, teman baru, lingkungan yang baru baginya. Dan, tanpa ibu, ia belum berani menghadapi situasi seperti itu.

             Akhirnya, setiap pagi, ibuku hanya bisa memasak air minum dan menanak nasi, lalu bersiap-siap dengan pakaian ‘sekolah’nya. Aku yang masih duduk di kelas 3 SMP dan kakak-kakakku yang lain sering menawarkan diri untuk sekedar mengantarkan si Arif ke sekolahnya. Namun, dasar bungsu! Rupanya masih tidak mau jauh-jauh dengan ibu.

             Saat proses belajar-mengajar di kelas adikku berlangsung, ibuku tak segan-segan minta izin ke pasar untuk membeli keperluan dapur. Pulang dari Pasar Selong, yang jalurnya searah dengan sekolah adikku, ibuku akan menjemput si Arif, lalu mereka pulang, tentunya naik delman. Makanya, tak heran juga, jika masakan ibuku baru bisa terhidang saat aku pulang sekolah sekitar jam setengah dua. Itu pun sekedar masak sayur dan goreng ikan laut atau tempe. Sudah.

              Ibuku, kembali duduk setahun di bangku SD, demi adikku… Aku belajar arti pengorbanan dari ibu.

01 Desember 2007

Memoirs of Me n Mom

Itulah promosi, lebih tepatnya, luapan emosi seketika yang aku ungkap pada temanku tentang rencanaku. Bikin memoar tentang aku dan bunda. Sebuah keinginan yang sampe saat ini sedang coba aku cicil. Lalu, ketika muncul ide bikin blog baru, aku pun memutuskan membuat blog yang khusus menampung tulisanku mengenai bunda.

Aku punya banyak kenangan dengan beliau. Daripada tercecer, lebih baik aku tuliskan. Niatku satu. Biar ada yang aku baca ketika rindu beliau. Biar aku nggak merasa terlalu kehilangan. Biar aku bisa mengajak bunda ‘ngobrol’ lewat catatan-catatanku. Ya, ia ada dan tetap hidup di tulisan-tulisanku.

Mungkin ini ide yang basi. Telah banyak yang menulis hal serupa. Apalagi objek bernama BUNDA, MAMA, IBU, atau UMMI itu. Sudah banyak kulihat buku-buku tentang itu terpajang di rak-rak toko buku. Kalau pun aku ada keinginan menerbitkannya dengan self-publishing atau ada pihak lain yang tertarik menerbitkannya, aku welcome saja. Tapi, aku merasa, belum saatnya. Aku masih belajar menulis. Menerbitkan buku adalah impian yang masih aku simpan erat-erat di laci kepalaku.

Semoga penulis senior tidak menertawakan ide basiku ini…