14 Juni 2010

Ruang Shalat

Ada satu ruangan kecil di rumah kami yang lama. Ruangan tersebut terisi oleh sebuah meja, lemari berpintu kasa, dan sebuah dipan dengan kasur tipis. Kadang kardus dan beberapa jenis benda lainnya disimpan di situ. Disebut gudang juga kurang tepat. Sebab, di situlah, di atas dipan, ibu saya kerap membentangkan sajadah lusuhnya dan beribadah lima waktu.

Ruangan itu terdapat di bagian selatan rumah kami. Berdekatan dengan dapur pula kamar mandi. Mungkin itu alasan ibu memilih ruangan tersebut sebagai tempat shalat. Sehabis lelah bekerja di dapur dan menunaikan tugas melayani kami untuk makan, misalnya, ibu bisa bergegas ke ruangan itu dan menggenapkan segala amalannya.

Namun, ibu tidak melulu shalat di situ sebab di samping belakang rumah kami terdapat mushola. Mushola Al-Fatah. Namanya dicomot dari nama saya karena memang awal mula pendiriannya saat saya baru lahir, yakni di tahun 1988. Hingga saat ini, mushola tersebut masih kokoh berdiri. Bersih dan semakin rapi. Cat luarnya telah diperbarui. Oke, bangunan fisik memang berubah jadi lebih bagus. Ironisnya, suara ramai anak-anak yang mengaji sedari magrib hingga isya, kini sudah mulai jarang. Maklum, anak-anak tetangga di sekitar lingkungan kami rata-rata telah beranjak remaja dan dewasa. Ada yang telah berumah tangga, ikut suaminya ke kampung lain, melanjutkan sekolah di luar kota, bahkan di luar pulau. Contohnya, saya.

Baik. Sedikit saja saya bahas mushola tersebut. Kembali ke topik awal mengenai ibu saya.

Nah, sekalipun ruangan tersebut tetap ‘istimewa’ buat beliau, namun keberadaan mushola tidak beliau kesampingkan. Shalat berjamaah, meraup pahala berlipat, siapa yang tidak mau? Apalagi – maaf – mengingat usia yang makin tua, di atas lima puluh, adalah suatu kesadaran yang baik untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas ibadah. Sebab, siapa yang tahu kapan malaikat maut kapan datang menjemput. Tak seorang pun. Namun, alangkah beruntungnya manusia yang diberikan tanda-tanda akan hal itu. Setidaknya, dia tetap waspada dan berusaha untuk selalu lebih baik dari hari ke harinya. Menanam amal kebaikan dalam tiap detak jantungnya. Untuk dipanen nanti ketika memasuki etape kehidupan berikutnya. Insya Allah ibu saya menyadari akan hal itu.

Ruangan itu. Ruangan yang sejak 2007 tidak saya ketahui lagi rupanya seperti apa. Sebab, rumah yaang pada mulanya rumah untuk keluarga besar, telah disewakan. Ini terkait pula persoalan warisan. Jadi, mau tidak mau, bapak memboyong kami sekeluarga ke rumah baru. Tidak begitu jauh sebenarnya dari rumah lama. Berjalan kaki sepuluh menit, bisalah sampai. Saya meski beberapa kali sempat menengok rumah lama, itu sekadar memandang luarnya saja. Tidak masuk. Menyesapi kenangan demi kenangan yang telah tertanam hampir 18 tahun saya hidup di rumah lama tersebut. Tidak masuk. Hanya berusaha mengekalkannya di dalam ingatan saja. Apalagi saya mengalami beragam momen dengan ibu, di rumah tersebut. Tak sedikit juga beliau sempat mencicipi tinggal di rumah baru kami yang sekarang. Ya, beliau terlebih dulu menempati rumah barunya di alam lain.

Semoga ibu senantiasa mendapat siraman cahaya Surga. Dan, ruang ibadah beserta benda-benda di dalamnya itu bisa menjadi saksi di akhirat kelak akan ketaatan beliau shalat lima waktu.

Amin… Ya Robbal ‘Alamiiin…