27 Februari 2008

Lima Jagoan yang Kini Berubah


Anak laki-laki identik dengan sifatnya yang egois, nakal, mudah marah, pembantah. Nah, sifat-sifat itu tercetak pula di kami, aku dan keempat saudara laki-lakiku. Mulai Jahed, saudara laki-laki paling tua, hingga si bungsu Arif. Kami berlima, dulunya, adalah anak-anak yang sering membuat ibuku marah. Sangat suka membantah. Memberontak, tidak menurut.

Jahed, misalnya. Dia kakakku yang ‘menurut’ keluargaku adalah yang paling sering menyakiti hati ibuku. Dia memang nakal. Suka ngebut dan trek-trekan di jalan. Sering keluar malam, laksana kelelawar. Dan penampilan agak ugal-ugalan. Yah, pergaulannya yang bikin dia kayak begitu. Itulah yang bikin ibuku suka marah padanya.

Enong, kakak persis di atasku. Dia mungkin agak beda ketimbang kami. Semasa almarhumah ibuku masih hidup, dia memang alim. Jadi kebanggaan orang tua deh dari sisi kematangan beragama. Sering jadi muazzin, memimpin shalat, serta mengajar anak-anak tetangga ngaji di musholla keluarga kami. Disuruh ini itu, dia paling nurut. Melihara kambing-kambing ternakan keluarga pun, dia diserahi tanggung jawab. Makanya, nenekku saja lebih suka muji dia ketimbang kami, saudaranya lain.

Tapi, satu hal yang bikin ibuku suka marah sama dia adalah sifatnya yang keras, egois, dan sempat pula dijuluki ‘si tangan besi’. Kenapa? Sebab, kalau lagi memperebutkan sesuatu atau lagi iseng, dia nggak segan-segan main pukul. Tangannya keras. Sekali hantam di lengan, sakitnya nggak ketolongan. Makanya, dia sering dapet omelan gara-gara sifatnya yang kasar itu.

Next... Aku. Aku adalah pembantah paling ulung (tapi, kayaknya adikku Arif yang gantian pembantahnya minta ampuuun). Setiap kata yang terucap dari bibir ibuku, aku bantah. Ada saja kata bantahanku. Disuruh ini, aku emoh. Disuruh itu, minta pamrih. Dilarang ini, nggak denger. Dilarang itu, nggak mau. Aku memang penimbalan (suka membantah, red). Makanya, ibuku sering naik darah gara-gara ucapanku yang menusuk dan tidak mengenakkan hati beliau. Kalo bisa diibaratkan, aku dan ibuku layaknya two debaters. Masing-masing nggak mau kalah. Tapi, memang, ibuku yang lebih sering ngalah.

Lain aku, lain pula Oki. Adikku ini juga sepertinya ngikut aku. Penimbalan. Sama-sama suka membantah. Dia dijuluki telinga bebancelan (nasihat nggak masuk-masuk di otak). Masuk telinga kanan, keluar telinga kiri. Dinasehatin, eh...malah bales nasehatin. Kita bilang ini, dia juga ikut bilang ini. Siapa sih yang nggak gondok, coba? Ibuku pun jadi sering dibuat marah oleh dia. Sifat lain yang sering bikin ibuku marah pada Oki adalah malasnya dalam bekerja. Nggak mau disuruh ngerjain ini itu. Alasannya, dia merasa masih kecil. Masih banyak kakaknya yang bisa mengerjakan itu semua. So, pasti, kami sebagai kakak-kakaknya juga tak urung dibikin geram oleh tingkahnya.

Terakhir... Arif. Aku belum bisa mengeksplor ‘sisi nakal’nya yang berhubungan dengan ibuku. Namun, ada satu hal yang hingga saat ini, baik aku, dia, maupun seluruh keluargaku, bahkan tetangga dan kerabat pun tahu, bahwa si Arif pernah jadi anak paling mewek dalam keluargaku. Ia tak mau masuk sekolah kalo ibuku nggak turut serta. Ia akan nangis kalo ibuku tak mendampinginya di bangku sekolah. Ia bakal mengancam untuk tidak sekolah kalo ibuku tak mengantarnya ke sekolah, sekaligus jadi teman duduknya sebangku. Ya, selama setahun, ibuku harus duduk satu bangku dengannya di kelas satu Madrasah Ibtidaiyah. Inilah yang membuat ibuku kadang gerah. Kami pun demikian. Tapi, entah kekuatan apa yang dimiliki oleh ibuku, hingga beliau mau setiap hari kembali jadi anak SD.

Itulah, kami berlima, anak laki-laki pasangan Mamiq Hamid dan Inaq Muslimah. Kami, yang semenjak ibu jadi almarhumah, pun akhirnya pada berubah. Ya, sebab ibu tiada, kami berubah. Berubah lebih baik. Berubah jadi anak yang tidak hanya menyesali kedurhakaannya, namun juga belajar jadi anak sholeh yang ‘telat’ berbakti.

Jahed, Enong, Aku, Oki, dan Arif pun kin telah berubah. Masing-masing berubah dengan caranya masing-masing. Menyesali luka yang selama ini pernah kami torehkan di hati ibu. Lalu, belajar untuk mandiri, ‘berdiri’ tanpa ibu. Belajar jadi anak yang berbakti dan sholeh yang senantiasa mendoakan orang tuanya, lebih-lebih ibu. Belajar menjadi penerus cita-cita ibu. Belajar menjadi orang baik. Selalu belajar menggali hikmah di balik musibah tiadanya ibu. Ibu kami. Ibu dari sembilan anak. Lima laki-laki, empat perempuan.


Coretan hati sebelum ikutan lomba nulis puisi untuk ayah-ibu

Semoga menang... minta doanya!

Surabaya, 27 Feb 08

25 Februari 2008

Ibu Baru, Cuma Bisa Bikin Sambel, Goreng Tempe, Sayur Bening!!!


Capeee deh! Ibu baru yang diharapkan bisa menjadi ibu rumah tangga yang baik, eh ternyata nggak jago masak. Apakah ini tidak dipertimbangkan bapak sebelum menyunting dia? Atau jangan-jangan bapak salah embat anak orang? Ah, atau mungkin perempuan yang kini kupanggil ‘ibu’ itu cuman ngandalin kelihaian rayunya. Ah, dia kan lulusan hukum. Bermain kata-kata udah jadi keahliannya. Dan...siapa tahu bapakku emang udah kena getahnya.

Bayangin! Ibu baruku ini nggak bisa masak. Kemampuan kokinya standar banget. Cuman bisa masak nasi, goreng tahu tempe kerupuk, bikin sayur bening, ngulek sambel, dan yang paling gampang en semua bisa adalah masak mie. Selebihnya, misalnya makanan yang berbumbu aneka ragam atau racikannya kompleks, ibu baruku NGGAK BISA!

Selain itu, dia juga paling ringan menyebut kata ‘makan’. Suruhannya, perintahnya, dan ajakannya yang paling amat sering kami dengar adalah: suruhan untuk makan. Kebayang nggak sih, tiap saat kerjaan cuman makan dan makan. Dan, hal ini memang tidak aneh, sebab ibu baruku ini memang dulunya manjanya minta ampuuun. Malas mengerjakan tugas-tugas rumah. Ia lebih suka main perintah. Orang-orang di rumahnya pun sudah maklum kalau dia adalah tuan putri yang mesti dilayani. Dia jarang masuk dapur. Dia jarang mencuci pakaian sendiri. Semua kebutuhannya, saudara-saudaranya yang memenuhi. Ah, dasar malas!

Ingin menyalahkan bapak, sudah amat sangat terlambat. Ingin menyalahkan perempuan yang sebaya dengan kakakku yang pertama itu, sudah amat sangat telat. Mau bilang apa. Dia kini berstatus ibu baru kami. Masih hijau dalam urusan rumah tangga. Butuh banyak pengalaman. Perlu banyak belajar. Dan, aku tidak ingin mencegah seseorang untuk belajar.

Daripada berkeluh kesah tak jelas, sibuk nyari kambing hitam, mendingan sang ibu baru aku kasih kesempatan untuk melaksanakan ‘tugas suci’nya sebagai ibu rumah tangga. Semoga aja dia nggak kapok jadi istri seorang mantan Kepala Depag Lotim yang dulu dikejar-kejarnya. Semoga aja cintanya nggak pudar pada bapakku hanya gara-gara bapakku sekarang udah jadi pensiunan.

Harapanku nggak muluk-muluk amat kan???


Malam rabu, dua hari lagi balik ke surabaya...

17 Februari 2008

Kolaborasi Bikin Ketupat


Ini memang bukan bulan Ramadhan. Tapi, daripada ideku ini terbuang hanya untuk menanti waktu yang tepat untuk menuliskannya, yaitu bulan Ramadhan, mendingan aku tulis aja sekarang. Mumpung mood-ku masih bagus dan energi masih ada untuk menulis.

Hooop...kolaborasi bikin ketupat.

Semenjak ibu tiada tiga tahun yang lalu, sejak itu pula bulan puasa kami terasa ‘kurang’. Ada yang hilang. Salah satunya, ketupat bikinan ibu. Tiga ramadhan terlewatkan tanpa ketupat terhidang di atas pelangkan (bale-bale bambu, Sasak). Kangen sekali rasanya. Pelecing kangkung dan urap-urap pun, dengan terpaksa menghilang dari menu berbuka puasa kami. Dua menu ini memang paling maknyus disajikan dengan ketupat.

Ya, di keluarga kami memang punya kebiasaan bikin ketupat selama bulan puasa, 30 hari penuh. Tidak seperti keluarga lainnya yang mungkin berketupat hanya di hari raya saja.

Itu pun ketupat kami bikin sendiri, bukan beli. Aku akan membantu ibuku membuat selongsong ketupat dari daun kelapa yang masih muda (janur) yang diambil dari sawah. Aku biasanya membuatnya siang-siang. Terkadang hingga malam setelah shalat tarawih. Shubuhnya, ibuku akan mengisi selongsong ketupat itu dengan beras lalu dimasukkan ke dalam dandang. Setelah itu direbus. Proses merebus hingga menjadi ketupat yang matang memakan waktu tiga – lima jam. Ketupat matang, lalu diangkat. Dinginkan sebentar di dalam bak. Lalu, kami simpul tali ketupatnya dan digantung di lonjoran bambu.

Begitulah aktivitas kami membuat ketupat selama bulan puasa. Begitu sore datang, aku, saudara-saudaraku, dan ibuku tentunya sudah berkutat di dapur. Memarut kelapa; merebus kangkung, kecambah, kacang panjang, kubis, daun singkong; mengulek sambel; membelah ketupat; memecah-mecah balok es; membelah kelapa muda; dan lain sebagainya. Intinya, mempersiapkan menu berbuka.

Ketupat yang kami bikin, bukan untuk kami konsumsi sendiri. Ibu memang sengaja bikin ketupat lumayan banyak karena akan disedekahkan pula pada para tetangga dan keluargaku lainnya. Akulah yang sering bertugas mengantarkan bebukayan (menu berbuka, Sasak) ke rumah-rumah tetangga. Terkadang, anak tetangga yang disuruh datang ke rumah untuk mengambil sendiri piring atau baskom yang berisi urap-urap pelecing plus ketupatnya.

Ini berlaku selama satu bulan penuh. Gantian, kadang-kadang tetangga yang membawakan kami makanan. Aku yang bertugas sebagai pengantar, sering pula dikasih uang atau makanan apa gitu oleh tetangga. Betapa senangnya. Makanya, meskipun terkadang hujan, aku rela saja berhujan-hujan dengan payung daun pisang, mengantarkan dari satu pintu ke pintu lainnya. Ah, memang indah nian berbagi.

Namun, kini ketupat kolaborasi sudah tidak ada lagi. Tiga Ramadhan ini sepi dari ketupat. Ah, andai momen itu bisa terulang kembali. Tapi, ah... inilah roda. Berhenti sebentar saja, kehidupan jadi tak seimbang.

Ketupat hasil kolaborasi yang memberi inspirassi

Rabu, tulisan keenam yang aku bikin dalam setengah hari ini...

Ibuku yang ‘Dipaksa’ Jadi Orang Kantoran


Sejak bapak diamanahkan menjadi kepala departemen agama kabupaten lombok timur, ada beberapa hal yang berubah. Mungkin yang paling kentara adalah hadirnya sebuah mobil dinas, panther hijau berplat merah kinclong. Selain itu, kursi yang sudah usang di ruang tengah pun, diganti dengan satu set kursi jati berwarna merah kokoh. Maklum, tamu bapak akan semakin banyak dengan beragam latar belakang. Mau tidak mau, wajah rumah kami harus dipoles sedikit. Itu tampilan fisik.

Satu perubahan lain yang coba ingin kucatat adalah berubahnya jadwal ‘syuting’ ibuku. Selama ini, beliau adalah ibu rumah tangga. Rumah menjadi kantornya. Rumahlah, tempat beliau membuka dan menutup hari. Sehari-hari beliau menghabiskan waktunya di rumah. Memasak, mencuci, membersihkan rumah, melaksanakan tugasnya sebagai ibu sekaligus istri. Beliau adalah sosok ibu rumah tangga sejati.

Setelah bapak berstatus kakandepag, secara otomatis ibuku menjadi ibu kakandepag. Mau tidak mau, beliau harus bersinggungan dengan urusan baru, yaitu sebagai ibu pejabat. Beliau mulai kenal dengan yang namanya arisan ibu-ibu kantor. Beliau lebih sering lagi menghadiri acara-acara seremonial. Beliau diangkat menjadi ketua dharma wanita di lingkungan Depag. Beliau mulai belajar berpidato. Beliau makin sering berinteraksi dengan dunia kepegawainegerian.

Aku masih ingat, waktu itu beliau akan menyampaikan sebuah pidato di depan ibu-ibu dharma wanita. Karena tidak terbiasa, bahkan nyaris tidak pernah berpidato semenjak jadi ibu rumah tangga, ibuku pun memintaku mengajarkannya. How to speech in the public area. Kebetulan konsep pidatonya sudah dibuatkan oleh sekretaris dharma wanita. Ibuku tinggal membacanya saja.

Bak seorang pelatih profesional, aku pun mengajarkan ibu cara berpidato a la Fatah. Kebetulan aku pernah punya pengalaman berpidato sejak SD. Aku menilai cara berdiri ibu, intonasi, artikulasi, kelancaran, cara memandang teks, dan sebagainya. Tapi, tentunya aku nggak berlebihan dalam menilai. Aku ingin ibuku menjadi dirinya sendiri. Dalam kondisi apapun.

Ketika itu, akulah yang bertugas menyetrika pakaian orang-orang serumah. Pakaian bapak, ibu, juga adik-adikku. Nah, gara-gara tidak telaten, sebuah rok warna krem milik ibuku pun jadi cacat. Setrika panas, kain lunak, dilindas agak lama, melelehlah dia!

Aku merasa bersalah. Apalagi itu rok sudah sepaket dengan atasannya. Tapi, ibu nggak marah. Kelalaianku bisa dimaafkan.

Andai saja aku punya koleksi baju segudang seperti Ivan Gunawan, ibuku pasti punya pilihan beragam agar bisa tampil lebih elegan. Ah, ibu rumah tangga yang ‘dipaksa’ jadi orang kantoran...

Pancor, tulisan kelima tentang bunda...

Untung, Ibuku Katrok HP


Untung ibuku tak mengenal hp! Kenal sih kenal, tapi untung saja beliau nggak bisa ber-hp. Kenapa aku menulis ini? Sebab, ibu baruku adalah pengeruk pulsa yang aktif. Rajin ber-hp, telepon sana-sini, ngabisin pulsa. Ah, untung saja ibuku nggak kenal hp...

Dibandingkan dengan ibuku, ibu baruku ini memang masih awam dengan kehidupan berumah tangga. Maklum, dia masih gadis saat bapakku menyuntingnya. Dia sendiri bahkan sering cerita kalau nggak bisa masak, masih suka bermanja-manji, dan lebih suka yang serba instan. Makanya, tak heran kalau sekarang di rumah, yang lebih sering masak adalah kakak perempuanku, Kak Omi. Ibu baruku pun hanya bisa berkilah, “saya masih belajar...”

Olalaaa...

Aku sih sebenarnya nggak terlalu memusingkan hal tersebut. Okeh, ibu baruku ini masih ‘hijau’ dengan rumah tangga. Okeh, dia sedang belajar jadi ibu rumah tangga. Okeh, aku hormati keinginan belajarnya tersebut. Tapi, yang nggak aku setujui adalah IA TERNYATA MASIH BELUM SIAP JADI IBU RUMAH TANGGA.

Jika dibandingkan dengan kakak perempuanku, yang hingga kini sengaja belum memutuskan untuk menikah, maka aku berani berkata, “KAK OMI LEBIH SIAP JADI IBU RUMAH TANGGA!!!”

Sejak ibuku meninggal, Kak Omi-lah yang jadi ‘ibu’ kami. Sifat keibuannya memang terasah sejak kecil dengan mengasuh kami dan menjadi guru mengaji di musholla dekat rumah. Apalagi setelah dia menjadi guru honorarium fisika di tiga madrasah. Kak Omi makin menunjukkan kedewasaannya menjadi ibu rumah tangga.

Sampai saat ini, Kak Omi belum memutuskan menikah. Padahal sedang ada dua lelaki yang siap melamarnya. Dia pernah cerita ke bibiku, dan bibiku cerita ke aku, bahwa Kak Omi akan menikah kalau sudah jadi PN. Kenapa harus jadi pegawai negeri dulu? Sebab, dengan jadi PN dia akan punya gaji tetap. Ia ingin membantu bapak dalam membiayai hidup kami, adik-adiknya. Dia juga ingin melihat ibu baru kami mandiri dulu , baru dia menikah dan ikut suaminya.

Sekian ulasan singkat tentang Kak Omi, satu-satunya kakak perempuanku yang belum menikah hingga usianya menjelang 28 ini.

Kembali ke ibu baruku!

Sosok ibu yang aku sayangkan karena mengenal hp. Adakah yang salah? Ada! Dia ber-hp, suka telpon-telponan, ngabisin pulsa, mengeruk budget rumah tangga. Dia juga lebih suka yang serba instan. Lebih suka beli makanan di toko, ketimbang masak sendiri. Lebih suka membeli jadi, daripada memproses sendiri. Intinya, ada banyak hal dari sosoknya yang perlu dikoreksi.

Ini juga gara-gara sifat manjanya semasa belum menjadi istri bapak kami. Dia sendiri yang cerita begitu. Masak, dimasakin oleh orang lain. Justru adiknya yang laki-laki yang lebih sering mengerjakan tugas-tugas rumah. Entah itu nyuciin dia baju, nyiapin ini itu, dan sebagainya.

Adakah ibu yang lebih baik dari dia???

Ada!!! Masih banyak. Namun, aku hanya berharap dan berdoa, SEMOGA BAPAK TIDAK SALAH PILIH...

Itu saja!

Pancor, rabu, langit pagi gerimis abu-abu

Ojek Buat Ibu


Di antara kami bersembilan, hanya lima yang bisa mengendarai motor: Kak Atun, Jahid, Enonk, aku, dan Oki. Karena tiga kakakku di atas lebih sering berada di Mataram, sementara aku dan adik-adikku tinggal di Pancor, akhirnya jadilah aku pengojek sejati ibu.

Ibu ke pasar, ibu ke sawah, ibu ke pertokoan, dan tempat-tempat lainnya, aku yang menjadi ojek beliau. Kalau kebetulan kakak-kakakku lagi berada di rumah, dia yang mengantarkan. Kalau kami, yang bisa bersepeda motor, tidak ada, maka ibu akan naik becak. Jikalau bisa dijangku dengan jalan kaki, jalan kakilah beliau. Kalau perjalanan jauh, misal dari Pancor – Mataram, ibu akan naik mobil.

Sebelumnya, ibuku tak terbiasa naik mobil untuk perjalanan jauh. Dia pasti akan mabok, mual, pusing-pusing, muntah. Makanya, tak heran amat sangat jarang ibuku bepergian dengan rute yang memakan waktu satu jam lebih. Beliau memilih tinggal di rumah. Dan, kami, anak-anaknya, akan diutus untuk mewakili beliau.

Namun, semenjak motor dinas bapak ada, diikuti dengan hadirnya supra fit biru-ku, jadilah ibu kalau ke mana-mana (yang dekat jaraknya), pasti kami antar dengan sepeda motor. Karena aku sendirian orang rumah yang bisa naik motor, bapakku tidak bisa, Oki juga belum bisa, akhirnya akulah yang mengojek ibu ke mana pun beliau pergi.

Ada kejadian lucu, tapi menggetirkan. Waktu itu, dengan motor dinas bapak yang bergincu merah (platnya kan merah menyala gicuuu), aku mengantar ibu ke sawah. Sekembali dari sana, beberapa meter sebelum mencapai rumah, kami di-stop oleh polantas. Kebetulan posnya ada persis di dekat rumahku.

Aku hanya ber-helm tengkorak putih, sementara ibuku berkerudung. Ya Ampuuun... Pasti kena tilang nih! Apalagi bawa motor dinas ke sawah. Mereka pasti tahu kami sudah ke sawah hanya dengan melihat sayur-mayur yang ada di bagian depan motor. Aku sudah ketar-ketir duluan membayangkan wajah sinis polisi-polisi itu. Dengan grogi, aku pun berhenti tepat di depan pos mereka. Sementara ibuku adem-ayem aja di belakang.

Ketika ditanya, mana SIM dan STNK, aku cuma bisa kemos (senyum, Sasak ) mirip kadal. Wajahku udah merah padam bara menyala di mana-mana (hiperbol banjets). Aku pun mencoba nyari alasan dengan bilang kalau, “rumah saya di depan situ, Pak!”. Tujuanku tak lain dan tak bukan agar diberikan jalan, diloloskan dari interogasi yang bikin grogi, dan dikasih uang jajan oleh pak polisi (loh???).

Meminjam istilah Prof. Dr. Yohanes Surya, MESTAKUNG terjadi. SeMESta menduKUNG jika kita berada dalam posisi kritis. Ahaaaaa....

Ada salah seorang polisi di situ yang mengenal ibuku. Dia pun angkat bicara dan menyuruh temannya yang sedang menginterogasi kami itu, agar memberikan kunci kontak motor dinas bapakku yang bergincu merah itu. Aku pun menyalakan motor dengan tangan berkeringat. Ibuku tak lupa mengucapkan terima kasih. Tanpa memandang lagi tampang-tampang polisi itu, aku pun tancap gas. Meninggalkan asap knalpot menghiasi wajah-wajah kusam dan sok jagoan si polisi-polisi laper uang tersebut.

Oh...aku tak pernah membayangkan diri ini jadi TUKANG OJEK dengan MOTOR DINAS KANTOR BERGINCU MERAH MEREKAHHHHH...

Hai Pemerintah Sang Pemberi Amanah... Ampunilah kekhilafan gueeee.... hehehehehe...

Pancor, nge-laptop pagi-pagi, sambil nikmatin teh susu panas

Mengawali Hari dengan Air


Ya, memasak air. Itu adalah aktivitas pertama yang dilakukan oleh ibuku di pagi hari begitu beliau bangun. Memasak air untuk minum kami. Memasak air penyeduh kopi. Memasak air jikalau kami ada yang butuh air hangat untuk mandi.

Memasak air untuk mengawali hari adalah kebiasaan ibuku. Mengamati hal tersebut, sempat terpikir olehku, betapa berharganya air di mata ibuku. Ini pula mungkin yang telah ditanamkan oleh orang tuanya, kakek nenekku, pada ibu.

Memang ibuku seringkali cerita kalau dulu, saat ia masih kecil hingga beranjak remaja, orang tuanya selalu bangun tidur jauh sebelum shubuh. Selain untuk qiyamul lail, juga untuk menyiapkan makanan bagi pekerja-pekerja yang membantu menggarap sawah nenek-kakekku. Dan, ibuku beserta saudara-saudaranya yang lain seringkali ikut dibangunkan sepagi itu untuk membantu. Entah itu menimba air di sumur, mencuci beras, memandikan adik-adiknya yang masih suka ngompol, dan sebagainya.

Kebiasaan ini rupanya berlanjut hingga sekarang. Ibuku biasanya bangun lebih awal ketimbang bapakku. Beliau segera ke dapur, cuci muka, membersihkan abu di tungku, menyiapkan kayu bakar di perapian, mengisi teko yang sudah menghitam pantatnya dengan air, lalu menyalakan api. Sembari menunggu airnya mendidih, ibuku lalu membangunkan kami, anak-anaknya, satu per satu. Menyuruh kami segera mengambil air wudlu’. Azan shubuh dari musholla dekat rumah pun menggema.

Sehabis salam, ibuku akan turun dari musholla, melihat air sudah mendidih atau belum. Jika sudah, beliau akan langsung memindahkan airnya ke dalam dua buah termos kami yang berwarna merah dan putih. Lalu, menyeduh jamu untuk bapak dan kopi untuk nenekku. Tak lupa bagi dirinya sendiri. Kadang teh, kadang kopi, kadang daun mint segar yang diseduh air panas. Aku pun lebih sering minta dibuatkan susu panas.

Barulah setelah aktivitas seduh-menyeduh, ibuku melanjutkannya dengan menanak nasi. Kami, anak-anaknya, sibuk bersiap-siap berangkat ke sekolah. Mandi, lalu sarapan mie atau nasi goreng yang dibuat oleh ibu.

Jika kami, anak-anaknya, sudah berangkat ke sekolah masing-masing dan bapak pergi ke kantor, tinggallah ibu di rumah, bersama nenekku. Lalu, beliau pun memulai ‘tugas suci’nya sebagai ibu rumah tangga.

Pancor, kangen rumah lama

16 Februari 2008

ZIARAH MAKAM BUNDA itu... PERLU!!!

Sudah hampir dua minggu aku berada di Lombok, tepatnya Desa Pancor, kampung halamanku tercinta. Liburan semester di sana. Padahal jauh hari sebelum aku memutuskan untuk pulang, aku sudah berencana untuk mengunjungi makam ibu. Tapi, apa yang terjadi???

Aku terlena bermain. Aku lebih suka menghabiskan waktuku dengan makan (penggemukan), tidur (penggemukan), reuni bersama teman-teman, jalan-jalan (sok turis asing), dan having fun. Intinya, tiada hari tanpa penyenangan diri. Aku membunuh waktu dengan hiburan semu.

Aku heran, kok, terasa sulit sekali melangkahkan kaki ke makam ibu. Dulu, aku biasanya ziarah ke makam beliau selesai subuhan, bersama adik kakakku. Sekarang, begitu aku ke Tanah Jawa dan pulang dengan segunung rindu di dada, kangen untuk ziarah ke makam Bunda, eh setiba di kampung halaman, aku hampir saja lupa. Aku keasyikan dengan ke-soksibuk-anku. Ah... Fatah... Fatah...

Kini, tinggal hitungan lima hari aku di Lombok, aku pun mau tak mau harus menyempatkan diri ke makam beliau. Ini bukan kewajiban agama. Tapi, aku me’wajib’kan diriku. Aku ingin menziarahi beliau, sosok perempuan paling berarti dan berjasa dalam hidupku. IBU...

Hari Minggu, dua minggu yang lalu, aku sempat ingin ziarahi beliau. Saat itu kebetulan aku sedang melintas areal makam bunda. Namun, merasa hari sudah siang, aku hanya bisa menengokkan wajah, memandang dengan ragu dan gelisah, antara jadi ziarah kubur atau tidak. Namun, aku justru mengencangkan gas motorku. Next time aja. Masih ada hari esok. Akulah si penunda-nunda waktu yang sangat akut. Bisa jadi, itulah salah satu penyakitku.

Kadang aku merasa, aku harus membuat rencana-rencana yang akan kukerjakan selama liburan. Ya, rencana-rencana tersebut sampai aku tuangkan ke reminder hp dan to do list di layar komputerku. Jadi, begitu waktunya, reminder di hp-ku akan berdering. Juga tiap kali aku membuka komputer, to dol list akan selalu kuperhatikan. Mana yang sudah terlaksana, mana yang belum. Namun, rencana tinggallah rencana. Banyak yang belum aku tunaikan. Itulah Fatah. Itu penyakitku juga. Suka membuat rencana, namun berat merealisasikannya.

Sekarang, satu to do list yang tidak boleh lagi aku tunda. ZIARAH KE MAKAM IBU...

Atau apakah cukup ‘doa untuk kedua orang tua’ saja yang aku sampirkan tiap habis sholatku? Atau apakah cukup dengan menuliskan kata-kata indah pada ibu lewat puisi dan syair-syair rindu? Atau apakah cukup dengan bernostalgia, mengingat, dan mengenang ibu, lewat tulisan-tulisan yang sengaja aku buat dan aku posting di blog ini?

Ah, ZIARAH KE MAKAM IBU itu... PERLU!!!

pancor, 070208, malam jumat,

satu helai doa terbang untuk ibuku seorang...

Ibu yang AJAIB di Mataku


“ Bu, sarung tiang mana ya?”

“ Itu kan di kamar mandi. Tadi epe yang bawa ke sana.”

Olala...benar, sarungku tersampir di tembok kamar mandi.

Inaq, mana uang yang dikasih ama Papuq Lauq?”

“ Coba lihat di atas meja di kamar ibu.”

Horeee...duitku masih ada. Untung nggak diambil ibu. Hehehe...

Inaq, gitaq de keh potlot tiang?

Leq atas lemori julun tipi. Wah inaq meriri iye beruq.

Yesss!!! Pensil yang aku cari-cari dari tadi, ternyata ditaruh ibuku di atas lemari.

“ Bu, raport saya harus dikumpulkan hari ini. Di mana tempatnya? Di meja belajar saya kok nggak ada?”

“ Ini, ibu sengaja taruh di dalam lemari. Biar aman.”

Itulah ibu. Sosok serbatahu. Bagi seorang Fatah kecil, dia begitu ajaib. Apa yang aku cari, dia tahu tempatnya. Posisi barang-barang kepunyaanku, beliau tahu pasti keberadaannya.

Beliau bukanlah robot canggih peng-inventaris mainanku. Beliau bukanlah robot pengingat yang mendeteksi dengan tepat posisi alat-alat pelajaranku. Beliau bukanlah doraemon yang selalu punya seribu cara untuk memecah kebuntuan dan masalah yang tengah aku hadapi. Beliau adalah sosok ‘serbatahu’ di mataku. Seorang Fatah kecil memanggilnya: ibu, inaq.

Aku tak mungkir, setelah dewasa, aku pun berpikir. “Ibu kok bisa serbatahu gitu ya?”

Seorang ibu memang hebat. Dia tahu jawaban apa yang paling layak diberikan kepada anaknya. Dia tahu A, B, C, dan seterusnya. Aku bangga dengan ibuku.