18 April 2008

Air Mata Ibu

Itu bukanlah judul sinetron yang pernah kami gilai sekeluarga. Sinetron yang dibintangi oleh Raslina Rasyidin dengan berperan sebagai tokoh ibu. Kalo gak salah, Tabah Penemuan dan Anjasmara juga pemainnya. Tamara Blezinsky juga iya. Kalo gak lupa dink!

Tapi, saya gak akan bahas sinetron Indonesia yang semakin lama semakin membosankan. Tema mirip-mirip. Gak kreatif. Di sini, saya akan nulis tentang air mata ibunda saya. Ibu Muslimah.

Sempat beberapa kali saya melihat beliau menangis. Sengaja dan tidak sengaja. Ketika saya mulai ‘dekat’ dengan beliau, tak segan-segan beliau curhat macam-macam ke saya. Menceritakan kepiluan hatinya sebagai seorang istri dari bapak saya. Istri yang sudah memberikan sepuluh anak dari rahimnya, namun ketika uban putih mulai bermunculan di rambutnya, ada seseorang yang membuat hatinya sedih, sakit.

Sambil bercerita, beliau kadang menangis. Aku tahu hatinya sakit. Aku tahu hatinya pilu. Namun, aku heran, kenapa orang yang menyakiti beliau, tak pernah paham. Kenapa? Ini yang masih menjadi misteri, meskipun sudah banyak teori dalam psikologi yang membahas ini. Teori tinggallah teori. Terkadang teori tidak memberi solusi.

Ujung-ujungnya, hubunganku dengan orang yang menyakiti hati bunda ini pun, jadi renggang. Bahkan muncul bibit-bibit benci dalam hatiku. Tapi, untuk ungkapkannya, rasanya tidak mungkin. Berat. Dan, aku tidak terbiasa mengungkapkan sesuatu yang mengganjal di hati secara verbal. Aku lebih suka memendam. Ya, itulah aku.

Lain cerita lain kesempatan, ibuku menangis tatkala kakakku mengalami kecelakaan lalu lintas. Kejadiaannya pas hari Raya Iedul Adha gitu. Terus malamnya, rumah bibiku yang bertetangga dengan rumah kami, kemalingan. Hari yang kurang menguntungkan.

Ibuku sempat pula nangis. Tepatnya, menangisi perilaku kakak laki-laki pertama. Yeah, sekeluarga tahu kalau kakakku memang ‘nakal’. Meski tidak sampai berbuat onar. Namun, nakalnya itu dalam bentuk pulang malam, sering keluyuran, trek-trekan dengan motor, ngecat rambut. Tapi, nggak sampai ngelakuin hal-hal yang ekstrem kok! Dan, keluargaku yang memang sudah terpatri dengan lingkungan yang alim dan kondusif, beranggapan bahwa kakakku itu nakal. Padahal dalam kacamata psikologi yang baru-baru ini mulai aku sukai, itu wajar. Orang mencari jati dirinya dengan beragam cara. Dan, kita tidak berhak untuk men-judge secara sepihak. Dan, aku pun baru nyadar hal itu, sekarang.

Secara garis besar, ibuku menangis sebab ada dua konsekuensi: sebagai IBU sekaligus sebagai ISTRI. Masalah rumah tangga, itulah kunci pembuka keran air mata beliau. Dan aku sebagai anaknya, hanya bisa belajar dan memahami hal itu.

Oh...ternyata begitu tho?!

Surabaya 18 April 2008

03 April 2008

Kopi Sangrai Racikan Ibu Sendiri

Menyangrai kopi adalah salah satu kegiatan rutin ibuku. Nggak setiap bulan sih. Pokoknya, kalo persediaan kopi (bubuk) di rumah sudah seret, ibuku akan menyangrai kopi sendiri. Tujuannya, selain menghemat, juga lebih cocok di lidah karena diracik sendiri ‘bumbu-bumbu’ kopinya.

Ibuku biasanya menyangrai kopi di samping rumah sebelah timur, dekat gudang. Ada banyak tumpukan kayu bakar di situ. Jadi gampang diambil. Dibandingkan di dapur, asapnya nggak akan terlalu merajalela. Lebih dari itu, ibuku bisa menyangrai kopi sambil dielus-elusi oleh angin sepoi yang bertiup. Sebab, tahu sendirilah gimana panasnya di dekat tungku perapian.

Kopi racikan ibuku terbilang lain daripada yang ada di toko-toko. Kata orang yang pernah disuguhkan kopi buatan keluargaku dan aku sendiri mengaku: kopi racikan ibu lebih gurih. Kenapa demikian? Karena, bahan-bahan campurannya yang ‘agak’ istimewa. Ada irisan kelapa, kayu manis, cengkeh, dan tentu saja biji-biji kopi nan montok. Semuanya disangrai di atas wajan tanah liat hingga gosong. Prosesnya pun butuh waktu yang cukup lama. Kalo nggak terbiasa, bisa kesemutan hingga kegajahan di depan tungku nan panas. Mesti bolak-balikin kayu bakarnya lagi.

Kalo ibuku sedang rehat, aku kadang-kadang diminta untuk menggantikan beliau. Terkadang aku ngedumel, apalagi manggilnya pas aku lagi asyik nonton tv atau baca buku. Tapi, kalo lagi mood dalam bantu-bantu tugas rumah, aku pun akan dengan senang hati menyingsingkan lengan baju dan lengan celana (loh?).

Apalagi kalo kebetulan lagi ada pisang atau ubi jalar atau singkong. Inilah momen yang tepat untuk bereksperimen (cailaaah) bakar-membakar. What?! Bakar singkong, ubi jalar, atau pisang, maksudnya. Enak kok! Mengasyikkan. Ditambah wangi kopi yang merasuk hingga tulang rusuk plus legitnya pisang, lembutnya daging ubi jalar, atau empuknya singkong. Hmmm...merupakan perpaduan hidup yang... MAKNYUSSS...!!!

Sekarang, tradisi menyangrai kopi sendiri sudah hilang ditelan masa. Orang yang biasanya menyangrai kopi telah berada dalam pelukan ‘wangikopi’-NYA.

Orang rumah semakin suka yang serba instan. Serba beli. Membeli hasil. Tidak menikmati proses.

Ya sutralah...

Surabaya, 3 April 2008
Beneath my memories’ injection