17 Juli 2010

Pelajaran dari Daoed Joesoef

“AlANGKAH BAHAGIANYA mempuanyai emak. Dia yang membesarkan aku dengan cinta keibuan yang lembut. Dia yang selalu memberikan aku pedoman di dalam perjalan hidup. Dia yang, di setiap langkah, tahap dan jenjang, membisikkan kepada harapan…”

Epilog dari buku 'Emak' yang ditulis oleh Daoed Joesoef ini saya temukan di sini. Betapa saya tiba-tiba teringat pada judul buku yang sempat saya pegang di Togamas kemarin malam (16/07). Lalu, saat sedang daring, saya pun iseng mencari informasi buku tersebut di Goodreads.com. Komentar dari para pembaca benar-benar membuat saya makin tertarik. Lantas, saya cari pula informasi tambahan melalui Google.

Saya putuskan untuk - Insya Allah - membeli buku ini besok. Jadi oleh-oleh buat saudara saya di Lombok. Tentu saja, untuk saya baca juga sekalian bernostalgia dengan kenangan antara saya dan Inaq - panggilan saya buat ibu.

Dari catatan Mbak Jemie Simatupang, saya juga memeroleh informasi bahwa Daoed Joesoef lahir di Medan, 8 Agustus 1926. Pendidikannya dimulai di Medan hingga akhirnya meraih gelar doktor di Universitas Sorbonne pada tahun 1972. Konon, itu merupakan gelar doktor pertama bagi orang Indonesia plus cum laude pula. Selain pernah menjabat sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Depdikbud), Daoed Joesoef juga pernah menjadi Anggota DPA (Dewan Pertimbangan Agung). Kedua jabatan tersebut pada zaman Orde Baru.

Pada paragraf-paragraf selanjutnya, saya membaca bagaimana seorang Emak menanamkan pelajaran hidup pada Daoed Joesoef dalam berbagai hal. Padahal emaknya bukan dari kalangan berpendidikan. Namun, keyakinannya pada kesuksesan yang akan mudah diraih dengan ilmu, menjadikannya bercita-cita tinggi untuk menyekolahkan anak-anaknya, termasuk Daoed Joesoef.

Sampai pada penjelasan itu, saya tercenung. Saya teringat pada Inaq saya. Pada pesan beliau selama masih hidup yang diestafetkan melalui bapak juga nasehat kakak-kakak saya bahwa: KAMI SEMUA HARUS SARJANA! Harus menempuh pendidikan perguruan tinggi. Sungguh, saya tak bisa membayangkan bagaimana bahagia beliau jika nanti melihat kami semua - anak-anaknya - telah menggenggam gelar sarjana. Saya sendiri, saat ini, sedang berjuang memasuki semester tujuh. Berharap sekali untuk lulus tepat 4 tahun. Pertengahan tahun 2011 nanti, saya bertekad untuk lulus dari Ilmu Hubungan Internasional.

Saya ingin membuat Inaq bangga di alam sana. Saya ingin membahagiakan bapak yang selama ini telah membiayai pendidikan saya. Juga membuat bangga dan berkontribusi pada keluarga dan masyarakat. Bagaimana saya selalu tepekur tiap kali mendapat pesan pendek nasehat dari bapak. Misalnya, pesan pendek yang beliau kirimkan pada 12 Juli 2010 setelah keinginan saya mempunyai kamera digital terkabul, "Rajin-rajinlah BELAJAR DAN MEMANFAATKAN WAKTU DALAM MENUNTUT ILMU, itulah harapan bapak, ibu dan semua keluarga dan saudara2 anakda di Lombok."

Inaq, Bapak, Ibu, Kakak-kakak, dan Adik-adik: TIANG AKAN MEWUJUDKAN ITU SEMUA!



N.B. Tiang = Saya (bahasa Sasak, red)
Inaq = Ibu (bahasa Sasak, red)
Saya punya dua ibu. Ibu kandung saya panggil 'Inaq'. Ibu tiri saya panggil 'Ibu'.