Lama blog ini tidak kujenguk. Serasa berdebu tebal, banyak sarang laba-labanya. Aku sedikit alergi. Takut pilek begitu bersih-bersih di sini. Hei, untuk apa aku bersih-bersih? Ini rumah biarkan saja apa adanya. Rumah yang menyimpan banyak kenangan. Antara aku dan ibuku.
Kadang aku ingin mengunjungi dan mulai menambahkan furnitur di rumah maya ini. Tentu saja, furnitur antik berupa kenanganku tentang ibu. Tapi, selalu saja aku dikalahkan oleh hal lain. Kalau kau pernah baca di blog-ku yang lain, kau tahu alasannya.
Kali ini Ramadhan datang. Hari ke sembilan.
Bulan yang penuh makna, kupikir. Bukan sekadar bulan suci yang mana orang-orang berlomba lebih baik. Berlomba mengisi masjid. Berlomba mengaji. Berlomba memeriahkan bulan suci ini.
Lalu, aku ingat ibu.
Lewat Ramadhan, ibuku mengajarkan banyak hal padaku. Terutama dalam hal bersedekah. Berbagi. Memberi.
Misalnya, dulu sewaktu aku masih berusia belasan tahun, usia anak SD, tiap petang menjelang berbuka puasa, aku selalu ditugaskan oleh ibuku mengantar makanan ke para tetangga. Dengan nampan besi (kami, dalam bahasa Sasak, menyebutnya tapsi) di atas kepala, aku – kadang-kadang mengajak adikku – pergi dari rumah ke rumah. Makanan apa? Ada ketupat, urap-urap, kolak, dan pelecing. Yang wajib adalah ketupat, pelecing, dan urap-urap. Sebab, saban hari selama sebulan Ramadhan penuh, ibu membuat ketupat. Aku juga ikut membantu bikin selongsongnya. Ibu yang mengisi dengan beras di pagi hari, menatanya di dandang, dan memasaknya di atas tungku, mulai pagi sampai zuhur menjelang.
Zuhur, itulah giliranku mengangkat ketupat-ketupat panas itu dari dandang. Mengikatnya dan mengangin-anginkannya di rentangan bambu di salah satu ruangan dekat dapur.
Sore, ketupat dibelah-belah dengan pisau. Untuk konsumsi kami ada pilihan nasi atau ketupat. Kalau untuk tetangga, dikirimkan saja ketupat utuh. Tak lupa sepiring urap-urap.
Ah, jika ingat-ingat itu, aku sungguh bahagia. Ibu mengajariku untuk berbagi lewat hal sederhana semacam itu. Aku juga sedikit heran karena orang kota yang aku saksikan di televisi justru makan ketupat ketika lebaran, tidak demikian halnya dengan kami. Aku bahkan bisa bikin ketupat sendiri. Merangkainya. Dan kadang ikut bantu ibu memasukkan biji-biji beras ke dalamnya. Mengira-ngira. Kalau berasnya kebanyakan, ketupatnya akan padat dan keras. Kalau terlalu sedikit, ketupatnya akan lembek. Jadi, kira-kira saja. Sekitar setengah isi ruang dalam selongsong ketupat.
Aku tahu berbagi makanan adalah hal remeh. Dan, aku senang saja melakukannya waktu itu. Kendati hujan, aku dipayungi adikku, akan tetap setia mengantarkan makanan ke rumah-rumah tetangga. Atas perintah ibuku, tentu saja.
Bagi anak kecil seperti aku dulu, ketika tetangga kembali berbaik hati memberikan recehan logam atau makanan atau buah-buahan padaku, senangnya tak terkira. Uang receh yang bisa aku belanjakan untuk permen atau makanan. Bagi ibuku, mungkin itu tak seberapa, melihat anaknya diberikan uang oleh tetangga yang kami kirimi makanan. Tapi, bagiku itu sungguh menyenangkan!
Aku tahu, tak ada niat untuk mendapat balasan. Bukan pamrih. Kendati kami bisa dikatakan tidak begitu kaya dengan harta, tapi kalau untuk hasil-hasil bumi dari sawah dan ladang, Insya Allah ada. Sementara tetangga-tetangga kami yang berprofesi sebagai guru, pegawai negeri, dan buruh biasa, bisa ikut pula mencicipi itu. Ya, karena kadang tidak semuanya habis kami makan. Tak ada salahnya dibagi.
Ibu, sekali lagi mengajarkanku untuk berbagi. Berbagi pada orang-orang terdekat. Setelah keluarga, ya…tetangga.
Ah, Ramadhan kali ini, aku merindukan saat-saat itu…
Semoga ibuku mendapat kelapangan di alam kuburnya dengan perbuatan-perbuatan kecil nan baik yang ia lakukan selama hidupnya menjalani Ramadhan demi Ramadhan… Amin.
Surabaya, 9 Ramadhan 1432 H
09 Agustus 2011
Langganan:
Postingan (Atom)