17 Mei 2008

Dia Malaikatku

Ibu. Dialah yang acapkali membangunkanku untuk shalat ‘malam. Shalat isya yang tertunda. Dia bangun tengah malam, sekitar jam dua pagi, untuk membangunkan agar segera menunaikan shalat isya. Waktu yang seharusnya untuk tahajjud.

Sejak masuk SMP, ibadahku agak menurun. Maklum, aku masuk siang, pulang hampir maghrib. Capek pastinya. Maghrib yang dulunya lebih sering berjamaah, sekarang lebih sering sendiri. Aku makan dulu, baru shalat. Makan pun sambil baca buku. Gimana nggak lama?

Al-Fatah, musholla dekat rumahku – yang diambil dari namaku sendiri – mulai agak jarang aku naiki. Mengaji sebentar, ngajar anak-anak tetangga, sebelum isya kumandang, aku lebih sering pulang. Tidur. Padahal isya sebentar lagi akan dimulai. Tapi, itulah Fatah. Godaan setan di ranjang lebih menarik daripada lantunan merdu azan isya.

Isya berjamaah pun lewat.

Ibuku sih menasehati, agar shalat dulu, baru tidur. Tapi, seorang remaja bernama Fatah suka abai. Lalai. Ah, entar aja! Paling jam 10 bangun buat isya. Tapi, siapatah yang paham trik setan? Manusia dibuat terbuai. Manusia dibuat lalai. Manusia ditipu dengan muslihat yang sangat manis.

Namun, malaikat itu masih ada. Malaikat itu akan terus terjaga, mengawasi anak-anaknya agar tidak lupa pada Sang Kuasa. Shalat harus ditegakkan, gimana pun kondisi. Anak-anak harus dibiasakan sejak kecil. Biar terbawa hingga dewasa.

Malaikat itu adalah ibuku.

Shalat isya-ku yang sering keteteran, terlewatkan, beliau yang ingatkan, bangunkan dari tidurku. Dan, seorang Fatah jika tidur nyenyak, tak mau diganggu. Antara mata membuka dan merem tertutup, dia akan ngamuk. Ngedumel nggak jelas. Marah-marah. Ya, karena setan masih asyik nempel di mata dan hatinya.

Namun, malaikatku itu – ibuku – tidak mau kalah. Ia perangi terus setan yang membelitku di tempat tidur. Kamu harus bangun, Nak! Bangun! Shalat isya dulu. Jika aku tak mau bangun, malaikat itu akan mengintirkan bulu ayam di hidung atau telingaku. Kadang menggitik telapak kakiku dengan sapu lidi. Aku geli, berontak. Teriak. Menggumam nggak jelas. Intinya, jangan ganggu aku!

Tapi, bukan malaikat namanya kalau tidak berjuang keras sampai titik darah penghabisan. Malaikat itu dengan segala cara, diam-diam memerangi setan yang nongkrong di kepalaku. Dia memercikkan air di atas mukaku. Menarik selimutku. Takkan mau keluar dari kamarku, jika aku belum bangun. Lampu kamarku akan dibiarkan pendar. Padahal tidur, aku lebih suka lampu mati. Tapi, malaikat itu sengaja membiarkan lampu kamarku nyala. Hingga aku bangun, mengambil air wudlu, dan menunaikan shalat isya.

Kini, saat aku beranjak dewasa, tak ada lagi gelitikan, bulu ayam di lubang hidung, cubitan, kitikan di tapak kaki, atau tangan yang memercikkan air di mukaku. Tak ada. Tak ada lagi malaikat itu. Aku merasa amat sangat kehilangan.

Maka, sekarang semua keputusan ada di tanganku. Saat aku lalai shalat, itu
semua ulahku. Saat aku abai isya hingga subuh menjelang, itu ulahku. Saat aku, terbangun sebentar, tapi lebih tertarik dengan bantal, itu juga ulahku.

Tugas malaikatku sudah selesai.

Siapa lagi yang akan ingatkanku saat lalai, nasehatiku saat khilaf, dan bangunkanku saat abai, kecuali diriku sendiri???


Surabaya, 13 Mei 2008

Ibu... Terima kasih sudah jadi malaikatku...

0 comments: