1 Januari 2010...
Akhirnya, tiba juga tahun baru dengan kombinasi angka yang cukup unik ini. 2010. Ada beberapa hal yang ingin saya tuliskan dan bagi di sini. Tentu saja temanya tidak jauh-jauh dengan apa yang menjadi judul blog ini. Yup, ibu!
Sore tadi, ketika sedang asyik browsing di ruang publik perpustakaan, tiba-tiba hp saya bergetar. Tertera nomor berkode Surabaya. Tanpa menunggu pertimbangan ini itu, langsung saya angkat.
Intinya, saya dinyatakan sebagai juara ke-3 Lomba Menulis Biografi Ibu yang diadakan oleh Majalah Matan, milik Muhammadiyah Jawa Timur. Saya tak lupa mengucapkan syukur pada Allah juga terima kasih pada mbak yang mengabarkan hal itu. Ini bisa jadi kado terindah di akhir tahun 2009 yang saya terima. Sebab, sejak pagi hari, saya berkutat dengan tugas-tugas kuliah yang tak jua kunjung selesai.
Allahu Akbar! Teringat saya pada tulisan sebelumnya. Itulah tulisan yang saya kirimkan dalam lomba tersebut. Awalnya, saya menyangka tulisan saya tidak menang, sebab info lomba menyatakan bahwa pemenang akan diumumkan pada tanggal 22 Desember *apa memang sudah diumumkan pada tanggal tersebut, namun via majalahnya ya?* Sehingga, saya pun tidak berminat lagi melihat-lihat naskah tersebut. Akan tetapi, karena saya menganggapnya bernasib sama dengan naskah cerpen ibu - yang tidak berhasil menang di tangan Penerbit Serambi - maka saya pun bersemangat untuk menampilkannya di blog ini.
Namun, Allah rupanya hanya ingin menguji kesabaran saya. Ya, saya saja yang memang kurang bersabar dan ikhlas. Hingga Allah menegur saya lewat kemenangan ini. Bahwa, saya meskipun menang, namun memiliki tugas yang cukup berat, yakni mempertanggungjawabkan isi tulisan saya tersebut, baik bagi diri saya sendiri, maupun bagi publik. Semoga tidak ada yang keliru dan menyesatkan dari tulisan saya tersebut. Amiiin...
Akhir kata, Selamat Tahun Baru 2010 Masehi! Semoga saya bisa rajin meng-update blog ini. Amiiin... :)
31 Desember 2009
29 Desember 2009
Ibu: Teman Sebangku Adik Bungsuku
*Tulisan ini saya ikutkan Lomba Menulis Kisah Pendek yang diadakan oleh Penerbit Serambi. Alhamdulillah... belum berhasil menggeret hadiah bukunya*
Aku yakin, ibuku lebih dari sekadar perempuan biasa. Beliau perempuan tangguh, fisik juga batin. Bagaimana tidak? Beliau mampu melahirkan sepuluh jiwa, meski yang bertahan hingga sekarang hanya sembilan. Jika main hitung-hitungan, entah berapa banyak yang beliau korbankan, jiwa dan raga, untuk kesemua anak-anaknya? Tak terhitung. Aku sendiri sering alpa, hanya mampu mengingat sepersekian saja dari total jasa beliau selama hidupnya.
Dan, dari sepersekian itu ada satu kisah yang tidak akan bisa aku lupakan seumur hidup. Kisah yang menjadi sumur hikmah bagiku bahwa pendidikan itu perlu mendapat prioritas. Bagaimanapun kondisi kita, sebisa mungkin, penguasaan ilmu dinomorsatukan. Sebab, ilmu akan menjadi panduan hidup di dunia. Ilmu pula yang nantinya akan mendatangkan kebaikan-kebaikan dan kebahagiaan hingga akhirat nanti.
Kisahnya…
Arif, adik bungsuku yang termasuk keras kepala. Lebih tepatnya, dia takut masuk Madrasah Ibtidaiyah. Memang, pengalaman ‘sekolah’nya hanya di rumah saja. Ibuku yang langsung mengajarkan baca tulis. Dan, sekali lagi. Hanya ibuku yang dia inginkan menjadi gurunya. Bukan kami, para kakaknya.
Ketika Arif dianggap sudah cukup umur, yakni enam tahun, maka orang tua kami mendaftarkannya di Madrasah Ibtidaiyah. Dia tidak menolak. Namun, pada hari-H, yakni hari pertama masuk sekolah, Arif memunculkan sikap aslinya. Dia mengeluarkan protes lewat sikap dan tangisan cengeng, “AKU MAU SEKOLAH KALAU IBU JUGA IKUT BERSAMAKU.”
Kami, para kakaknya, hanya bisa menawarkan untuk mengantarkan dia ke sekolah. Namun, dia memberontak. Tidak mau. Bapak sendiri, tidak mungkin. Sebab, beliau harus berangkat ke kantor. Toh, beliau juga tidak bisa mengantarkan si bungsu ini karena beliau memang tidak bisa mengendarai sepeda motor ataupun menyetir (bahkan, kami pun belum punya mobil saat itu – tahun 2000).
Melihat alternatif-alternatif yang tidak mungkin dijalankan, ibu pun mengambil inisiatif. Beliau sendiri yang mengantarkan si Arif, naik delman tiap hari. Ibu sepertinya mampu membaca psikologis Arif yang kurang siap dengan suasana sekolah. Beliau merasa perlu menemani Arif bisa beradaptasi dan bisa dilepas sendiri di lingkungan barunya.
Tiga hari pertama, ibu masih setia menemani Arif. Tentu saja jadwal ibu menjadi sedikit berantakan karena aktivitas memasak, mencuci, belanja ke pasar, dan mengurus rumah menjadi agak siang dilakukan. Namun, ibu menjalaninya dengan penuh kesabaran. Demi Arif. Demi anak bungsunya itu agar nyaman dengan sekolah.
Lalu, pada hari-hari berikutnya, ibu pun membujuk Arif agar mau berangkat sendiri ke sekolah. Tarif uang saku dinaikkan, tidak juga mempan. Diantar tiap hari pakai motor ke sekolah, sangat tidak ampuh. Apa maunya? Harus selalu bersama ibu. Tidak boleh tidak. Jika keinginannya tidak digubris, mogok sekolah pun dilancarkan.
Tentu saja ibu, bapak, dan juga kami – para kakaknya – tidak menginginkan hal itu terjadi. Lagi-lagi, ibu pun mengalah. Demi Arif.
Dan, kami tidak menyangka, ternyata dewan guru di sekolahnya Arif memprotes kehadiran ibu yang selalu menemani Arif belajar di kelas. Ya, ibu harus duduk satu bangku dengan si bungsu, Arif. Dari jam pertama hingga pulang. Di rumah, ibu bercerita pada kami kalau beliau sebenarnya malu harus duduk sebangku dengan Arif. Beliau juga tidak ‘enak’ dengan reriuhan para guru. Bahkan, salah satu guru perempuan memberikan ultimatum untuk tidak mau mengajar jika ibu tetap mengantar Arif ke sekolah dan duduk sebangku. Ibu berada dalam dilema.
Arif belum mampu memahami keadaan. Ibu pun berlapang dada. Satu caturwulan bertahan, kami sekeluarga menyarankan pada Arif agar dipindahkan saja ke SD 4 Pancor. Kebetulan adik kami yang terkecil kedua, yakni Ofah, juga bersekolah di situ. Nanti, dia bisa menemani si Arif berangkat bersama ke sekolah. Juga salah seorang bibiku menjadi guru di SD tersebut.
Sepertinya mulai bisa membaca kondisi, Arif pun mau. Kami menghela napas lega. Ibu pun bisa menjadi ringan bebannya.
Kini, meskipun beliau telah berada di sisi-Nya, kami yakin beliau tengah senyum bahagia melihat Arif tumbuh menjadi anak kelas 2 Madrasah Tsanawiyah yang mandiri, aktif organisasi, tekun belajar, serta rajin mengaji. Benih keyakinan bahwa perjuangan ibu tak sia-sia, mulai menampakkan hasilnya.
Alhamdulillah!
Aku yakin, ibuku lebih dari sekadar perempuan biasa. Beliau perempuan tangguh, fisik juga batin. Bagaimana tidak? Beliau mampu melahirkan sepuluh jiwa, meski yang bertahan hingga sekarang hanya sembilan. Jika main hitung-hitungan, entah berapa banyak yang beliau korbankan, jiwa dan raga, untuk kesemua anak-anaknya? Tak terhitung. Aku sendiri sering alpa, hanya mampu mengingat sepersekian saja dari total jasa beliau selama hidupnya.
Dan, dari sepersekian itu ada satu kisah yang tidak akan bisa aku lupakan seumur hidup. Kisah yang menjadi sumur hikmah bagiku bahwa pendidikan itu perlu mendapat prioritas. Bagaimanapun kondisi kita, sebisa mungkin, penguasaan ilmu dinomorsatukan. Sebab, ilmu akan menjadi panduan hidup di dunia. Ilmu pula yang nantinya akan mendatangkan kebaikan-kebaikan dan kebahagiaan hingga akhirat nanti.
Kisahnya…
Arif, adik bungsuku yang termasuk keras kepala. Lebih tepatnya, dia takut masuk Madrasah Ibtidaiyah. Memang, pengalaman ‘sekolah’nya hanya di rumah saja. Ibuku yang langsung mengajarkan baca tulis. Dan, sekali lagi. Hanya ibuku yang dia inginkan menjadi gurunya. Bukan kami, para kakaknya.
Ketika Arif dianggap sudah cukup umur, yakni enam tahun, maka orang tua kami mendaftarkannya di Madrasah Ibtidaiyah. Dia tidak menolak. Namun, pada hari-H, yakni hari pertama masuk sekolah, Arif memunculkan sikap aslinya. Dia mengeluarkan protes lewat sikap dan tangisan cengeng, “AKU MAU SEKOLAH KALAU IBU JUGA IKUT BERSAMAKU.”
Kami, para kakaknya, hanya bisa menawarkan untuk mengantarkan dia ke sekolah. Namun, dia memberontak. Tidak mau. Bapak sendiri, tidak mungkin. Sebab, beliau harus berangkat ke kantor. Toh, beliau juga tidak bisa mengantarkan si bungsu ini karena beliau memang tidak bisa mengendarai sepeda motor ataupun menyetir (bahkan, kami pun belum punya mobil saat itu – tahun 2000).
Melihat alternatif-alternatif yang tidak mungkin dijalankan, ibu pun mengambil inisiatif. Beliau sendiri yang mengantarkan si Arif, naik delman tiap hari. Ibu sepertinya mampu membaca psikologis Arif yang kurang siap dengan suasana sekolah. Beliau merasa perlu menemani Arif bisa beradaptasi dan bisa dilepas sendiri di lingkungan barunya.
Tiga hari pertama, ibu masih setia menemani Arif. Tentu saja jadwal ibu menjadi sedikit berantakan karena aktivitas memasak, mencuci, belanja ke pasar, dan mengurus rumah menjadi agak siang dilakukan. Namun, ibu menjalaninya dengan penuh kesabaran. Demi Arif. Demi anak bungsunya itu agar nyaman dengan sekolah.
Lalu, pada hari-hari berikutnya, ibu pun membujuk Arif agar mau berangkat sendiri ke sekolah. Tarif uang saku dinaikkan, tidak juga mempan. Diantar tiap hari pakai motor ke sekolah, sangat tidak ampuh. Apa maunya? Harus selalu bersama ibu. Tidak boleh tidak. Jika keinginannya tidak digubris, mogok sekolah pun dilancarkan.
Tentu saja ibu, bapak, dan juga kami – para kakaknya – tidak menginginkan hal itu terjadi. Lagi-lagi, ibu pun mengalah. Demi Arif.
Dan, kami tidak menyangka, ternyata dewan guru di sekolahnya Arif memprotes kehadiran ibu yang selalu menemani Arif belajar di kelas. Ya, ibu harus duduk satu bangku dengan si bungsu, Arif. Dari jam pertama hingga pulang. Di rumah, ibu bercerita pada kami kalau beliau sebenarnya malu harus duduk sebangku dengan Arif. Beliau juga tidak ‘enak’ dengan reriuhan para guru. Bahkan, salah satu guru perempuan memberikan ultimatum untuk tidak mau mengajar jika ibu tetap mengantar Arif ke sekolah dan duduk sebangku. Ibu berada dalam dilema.
Arif belum mampu memahami keadaan. Ibu pun berlapang dada. Satu caturwulan bertahan, kami sekeluarga menyarankan pada Arif agar dipindahkan saja ke SD 4 Pancor. Kebetulan adik kami yang terkecil kedua, yakni Ofah, juga bersekolah di situ. Nanti, dia bisa menemani si Arif berangkat bersama ke sekolah. Juga salah seorang bibiku menjadi guru di SD tersebut.
Sepertinya mulai bisa membaca kondisi, Arif pun mau. Kami menghela napas lega. Ibu pun bisa menjadi ringan bebannya.
Kini, meskipun beliau telah berada di sisi-Nya, kami yakin beliau tengah senyum bahagia melihat Arif tumbuh menjadi anak kelas 2 Madrasah Tsanawiyah yang mandiri, aktif organisasi, tekun belajar, serta rajin mengaji. Benih keyakinan bahwa perjuangan ibu tak sia-sia, mulai menampakkan hasilnya.
Alhamdulillah!
Langganan:
Postingan (Atom)