25 November 2007

Aku dan Ibu

Dan…aku akan merindukan sosok itu!

Tiba-tiba…

Ia akan hadir tanpa kuminta. Diam-diam. Mungkin ia telah mengendap-endap. Lama. Tanpa sepengetahuanku. Mengintaiku dari dunia yang entah seperti apa. Aku hanya bisa meraba-raba. Tapi, tetap saja aku takkan mampu. Sebab, aku belum mengalaminya. Tapi, siapapun akan tahu, aku akan menjalaninya dunia seperti yang kini sedang ia jalani. Pasti.

Dialah ibu.

Sosok bermata bening yang telah tinggalkanku satu setengah tahun itu. Berawal dari sakit, dia dengan senyum yang mengembang, berwangikan melati segar, meningggalkan kami – sembilan anaknya – di shubuh yang lumayan senyap. Rumah Sakit Islam Siti Hajar Mataram itu, telah jadi saksi. Aku pun akan tetap dihadirkan bayangan itu, tiap kali melewati rumah pasien itu.

Aku mandi. Guyuran demi guyuran akan menjelma usapan tangannya nan lembut. Mengelus rambut mudaku yang ikal. Menepuk-nepuk pipiku sebelum berangkat menjemput mimpi. Menempel di kening dan bibirku, tiap kali aku langkahkan kaki ke sekolah. Dan ia akan berpesan: “Hati-hati di jalan, Nak!”

Saat kumenikmati makan siang, ia akan datang. Duduk memandangiku dengan setulus-tulusnya. Menanyakan pelajaranku di sekolah. Menceritakan kegiatannya di rumah sepeninggal kami di pagi hari. Belanja ke pasar, memasak makanan kesukaan kami – sambal goreng tempe, tongkol goreng, atau sayur kubis -, mencuci, dan melayani ibunda tercintanya yang sudah senja, nenek kami. Suapan demi suapan akan terasa nikmat saat terselipi cerita dan pengalaman-pengalaman penuh kasihnya hari ini.

Tapi, semuanya telah berakhir. Kamis shubuh di bulan Juli satu setengah tahun yang lalu…
Matanya yang menyiratkan cinta, meski telah terkikis di sana-sini oleh waktu, bagiku, seperti memandang telaga yang luas dengan airnya yang tenang bergejolak. Bibirnya, yang telah fasih menuturkan nasehat-nasehat, bagiku, laksana segarnya air pancuran yang mengisi tabung-tabung jiwa kami. Dia tertawa, kami bahagia. Dia tersenyum, kami bangga. Dia menangis, kami ikut merasakan sedihnya. Dia marah, kami gumpalkan sesal. Gara-gara kami… Ya, kami adalah warna-warna itu. Dia adalah kanvas itu sendiri. Tempat kami menumpahkan diri. Semakin banyak warna itu, semakin melekat kehidupan kami. Indah adalah resiko yang harus kami tanggung…

Dan…

Bunga bermahkota indah itu makin layu. Mencium tanah, lebih tragisnya…
Kesepian adalah episode kemunculannya. Tanpa derit suara, ia tiba-tiba terpaku di depanku. Meraih tanganku, membawaku terbang, menuju masa lalu. “Kamu tak boleh lupa!” Aku, dalam hal-hal tertentu boleh saja lupa. Tapi, tidak untuk kenangan indahku bersama tetes embun bernama ibu. Aku pun dengan kesadaran penuh, akan menyusuri detik-detik, masa-masa, detak-detak, antara aku dan ibu.

Cinta bukanlah sekerdip rasa yang akan bergelora, bergelombang sebentar, lantas hilang dalam hitungan kerjap mata. Lebih dari itu, cinta akan meninggalkan jejaknya pada bebatu yang bernama rindu. Rindu yang telah terpetakan, tertatahkan dengan begitu eksotis, pada hamparan jiwa. Ia lebih kekal. Ia lebih harum. Ia lebih manis. Ia tak terkira… Itulah hatiku. Dulu, kini, esok, selamanya. Menautkan semua rindu pada ibu.

Bukan sepi saja yang antarkanku menjemput rindu. Di tengah ramai, saat termangu di tangga masjid, saat berbelanja makanan ataupun baju, saat keluar dari pintu kos-kosan, ketika di dalam angkot, rindu itu akan menyelusup. Mengisi kekosongan tatap. Apalagi jika pandanganku terbentur pada sosok perempuan yang mungkin telah jadi ibu, sebab anak-anak tampak digandengnya. Maka, ingatan pada sosok ibu, segera menggilas alam bawah sadarku. Mengajak seluruh sel-sel memori di otakku menari-nari dengan iringan lagu-lagu cinta tak terdefinisikan.

Aku, dengan segala kemahaterbatasanku, ingin rasanya bertemu dengannya. Setiap yang kutanya, solusi yang diberikan padaku hanyalah… lewat mimpi. Lewat mimpi saja. Tapi, aku…ah! Mimpi sangat terbatas. Begitu terbangun, lamat-lamat ia akan menghilang, tertelan denyar aktivitas hidupku. Tapi, lewat apalagi selain itu? Tak ada jalan lain. Ya…aku akan bermimpi. Bermimpi bertemu dengannya. Menikmati kembali masa-masa manis yang pernah Tuhan suguhkan antara aku dan ibu…

0 comments: