25 November 2007

Bu, Aku, Bu

Dingin. Sepi menyeruak. Membinasakan suara-suara asing yang membisingkan telinga. Saya terpaku, di bawah pohon palem, dengan pencahayaan lampu pinggir jalan. Pulpen di tangan kanan. Sebuah notes kecil terbuka di pangkuan. Siap untuk ditulisi.

Mencari ide sendirian. Tak peduli dengan keramaian. Lalu-lalang orang. Kendaraan yang berseliweran. Pedagang-pedagang malam yang kadang menghampiri menawarkan. Yang saya sambut cukup dengan gelengan. Bekal di dalam tas berupa cemilan dan sebotol air mineral masih ada. Belum sempat saya sentuh. Nanti saja, kalau sudah lapar.

Saya menuliskan,

Ibu…

Semoga aku tidak menjadi anak yang malang

Meski kau sudah di pelukanNya

Aku berharap masih bisa memberikan yang terbaik

Entah dengan sepucuk doa

Entah dengan usahaku untuk jadi anak yang shaleh

Semoga,

Semua diperkenankanNya…

Amiiin…

Aku menulisi halaman pertama notes pemberian adikku itu, dengan iringan dua tetes air mata.

Ibu…

Andai saja kau masih bersama kami

Mungkin semua takkan jadi begini

Kau ada, paling tidak ada tempat meneduhkan

Kau ada, paling tidak ada tempat mengeluhkan

Kau ada, paling tidak ada tempat membahagiakan

Kau ada, paling tidak ada tempat mencurahkan

Kau ada, paling tidak ada tempat menangiskan

Tapi, semua sudah tergariskan

Kali ini dengan delapan tetes air mata dan hati yang mulai bergelombang putih. Setiap tetes yang jatuh, saya biarkan bersenyawa dengan tinta. Biar saja, tinta dan air mata, berpeluk dalam memar tulisan saya.

Ibu…

Belaianmu kini tergantikan mimpi

Curahan kasihmu kini tergantikan angan

Embusan lembut nasehatmu kini tergantikan bisik angin malam

Aku berubah

Sejak kau tiada

Aku berbeda

Sejak kau menghilang dari tatap mata

Sungguh…

Predikat “anak shaleh” masih sulit kugapai

Padahal aku meyakini, itu sebuah keharusan

Tapi…

Enam belas tetes air mata, menggelinding lembut di pipi. Dada saya bergetar. Tangan saya tak bisa meneruskan. Rumpun sedap malam di dekat saya, tak sanggup menenteramkan. Biar saja.

Ibu…

Cermin di hatiku tak bisa berbohong

Kaulah yang teristimewa

Kaulah wanita yang tak terganti

Takkan bisa terhapuskan

Meski potretmu, hanya dua buah saja aku punya

Namun potretmu di hatiku jauh akan tetap abadi

Hingga detik pertemuanku nanti

Enam belas jadi delapan. Sebanyak itulah tetes kehangatan yang terjun lembut di atas kata-kata yang saya coretkan, kini. Saya mulai menguasai emosi. Meski riak itu masih saja menggoyahkan dalam bentuk sesenggukan. Biarkan.

Ibu…

Doamu…

Harapmu…

Tetap kurasa

Mengaliri jalan hidupku

Kututup notes kecilku. Dua halaman sudah yang bisa aku goreskan. Dua tetes air mata turut meng-amin-kan.

Sepinate, 19 April 2007

0 comments: