Dingin. Sepi menyeruak. Membinasakan suara-suara asing yang membisingkan telinga. Saya terpaku, di bawah pohon palem, dengan pencahayaan lampu pinggir jalan. Pulpen di tangan kanan. Sebuah notes kecil terbuka di pangkuan. Siap untuk ditulisi.
Mencari ide sendirian. Tak peduli dengan keramaian. Lalu-lalang orang. Kendaraan yang berseliweran. Pedagang-pedagang malam yang kadang menghampiri menawarkan. Yang saya sambut cukup dengan gelengan. Bekal di dalam tas berupa cemilan dan sebotol air mineral masih ada. Belum sempat saya sentuh. Nanti saja, kalau sudah lapar.
Saya menuliskan,
Ibu…
Semoga aku tidak menjadi anak yang malang
Meski kau sudah di pelukanNya
Aku berharap masih bisa memberikan yang terbaik
Entah dengan sepucuk doa
Entah dengan usahaku untuk jadi anak yang shaleh
Semoga,
Semua diperkenankanNya…
Amiiin…
Aku menulisi halaman pertama notes pemberian adikku itu, dengan iringan dua tetes air mata.
Ibu…
Andai saja kau masih bersama kami
Mungkin semua takkan jadi begini
Kau ada, paling tidak ada tempat meneduhkan
Kau ada, paling tidak ada tempat mengeluhkan
Kau ada, paling tidak ada tempat membahagiakan
Kau ada, paling tidak ada tempat mencurahkan
Kau ada, paling tidak ada tempat menangiskan
Tapi, semua sudah tergariskan
Kali ini dengan delapan tetes air mata dan hati yang mulai bergelombang putih. Setiap tetes yang jatuh, saya biarkan bersenyawa dengan tinta. Biar saja, tinta dan air mata, berpeluk dalam memar tulisan saya.
Ibu…
Belaianmu kini tergantikan mimpi
Curahan kasihmu kini tergantikan angan
Embusan lembut nasehatmu kini tergantikan bisik angin malam
Aku berubah
Sejak kau tiada
Aku berbeda
Sejak kau menghilang dari tatap mata
Sungguh…
Predikat “anak shaleh” masih sulit kugapai
Padahal aku meyakini, itu sebuah keharusan
Tapi…
Enam belas tetes air mata, menggelinding lembut di pipi. Dada saya bergetar. Tangan saya tak bisa meneruskan. Rumpun sedap malam di dekat saya, tak sanggup menenteramkan. Biar saja.
Ibu…
Cermin di hatiku tak bisa berbohong
Kaulah yang teristimewa
Kaulah wanita yang tak terganti
Takkan bisa terhapuskan
Meski potretmu, hanya dua buah saja aku punya
Namun potretmu di hatiku jauh akan tetap abadi
Hingga detik pertemuanku nanti
Enam belas jadi delapan. Sebanyak itulah tetes kehangatan yang terjun lembut di atas kata-kata yang saya coretkan, kini. Saya mulai menguasai emosi. Meski riak itu masih saja menggoyahkan dalam bentuk sesenggukan. Biarkan.
Ibu…
Doamu…
Harapmu…
Tetap kurasa
Mengaliri jalan hidupku
Kututup notes kecilku. Dua halaman sudah yang bisa aku goreskan. Dua tetes air mata turut meng-amin-kan.
Sepinate, 19 April 2007
0 comments:
Posting Komentar