30 November 2007

Ibuku Dahulu




Ibuku dahulu marah padaku…

….

Itulah judul puisi Amir Hamzah yang aku baca ketika masih SMP. Aku lupa lanjutan bait-baitnya. Tapi, yang pasti, aku masih ingat pesan moral yang terkandung di dalam puisinya sastrawan angkatan 20-an (benar gak ya? Mohon dikoreksi!) itu.

Puisi yang aku temukan di buku bahasa Indonesia itu, cukup menggugahku. Apalagi jika kukaitkan dengan keadaanku. Aku dan ibuku. Ingin rasanya membaca ulang puisi tersebut, menikmatinya diam-diam di kesunyian kamar, dan entah. Air mata bisa saja keluar.

Ibuku dahulu marah padaku…

….

Ibuku Dahulu” adalah sebuah puisi dengan kata-kata yang sederhana, mudah dicerna, sekalipun oleh otakku yang masih awam waktu itu. Aku menikmatinya. Bisa dikatakan itu pengalaman pribadi sang penyair, Amir Hamzah. Bagaimana dia tatkala dimarahi ibunya gara-gara tidak manut, tidak patuh, tidak menuruti nasihat ibunya. Ibunya yang kadang-kadang sedih, ingin menangis namun ditahan, gara-gara melihat tingkah-polah anaknya. Lalu, si anak pun sadar. Ternyata, selama ini ia telah sering menyakiti hati ibunya. Si anak menyesal.

Aku pun demikian. Jika ingat masa-masa suramku, saat aku masih duduk di kelas 5-6 madrasah hingga masuk di SMP, aku termasuk anak yang suka membantah. Perkataan sang bunda, aku bantah. Suruhannya, aku tolak. Nasihatnya, aku anggap angin lalu. Ia marah, aku lebih marah lagi. Tak ubahnya, aku dan bunda, lawan bersilat lidah.

Jika ingat akan hal itu, maka betapa menyesalnya aku hari ini. Di madrasah pun dulu, kelakuanku ini sampai juga di telinga guruku, hingga aku mendapat teguran. Aku malu, tentu saja. Masih terngiang di telingaku ucapan ibu guru Jalilah, guruku yang kini bersuamikan orang Kalimantan dan tinggal di Jakarta. Sungguh bagus sekali nasib beliau.

“ Fatah memang hebat, ya? Hebat di pelajaran. Namun, hebat juga kalo membantah orang tua…”

Tentu saja aku malu disindir sedemikian rupa halusnya oleh ibu guruku yang cantik itu. Istilah hebat yang tak patut disandang dalam satu pribadi. Hebat yang nggak bener.

Sekarang, bukan hanya puisi Amir Hamzah itu saja yang berkelebat di kepalaku, namun lebih dari itu. Bayangan ibu saat aku melukai hatinya.

Akankah Anda yang masih punya bunda, tega menancapkan pisau kata-kata, di hatinya yang tulus bercahaya???


Suralook (Surabaya – Lombok)

Kadang ia ‘dihadirkan’ oleh gerimis petang

0 comments: