10 Januari 2008

Dalam Mencretku, Ada Cinta Ibu


Dulu, ketika masih kelas satu SMU, aku pernah terkena diare yang cukup parah. Meski tidak sempat terbaring di rumah sakit – aku lebih 'suka' sakit di rumah – namun, kondisiku waktu itu benar-benar payah. Tubuhku lemah. Pusing dan mual-mual jadi satu paket. Badanku panas. Nafsu makanku terpasung. Aku akan lebih suka berada di balik selimut sambil membaca buku atau mengkhayal. Mengkhayal kematian. Aku juga heran, jika sakit, aku gampang sekali ingat kematian.

Setiap kali sakit, orang yang paling dekat dan 'selalu' ada untukku adalah inaq (ibu, sasak)-ku. Secara, beliau ibu rumah tangga. Kantornya, ya rumah kami. Beliau tetap berada di rumah, sementara bapak ke kantor Depag Lombok Timur, dan anak-anaknya berangkat ke sekolah.

Aku merasa beruntung dengan status beliau sebagai ibu rumah tangga. Sebab, beliau tak perlu kenal dengan yang namanya jam kantor, datang pagi-pagi dan tepat waktu, memakai seragam kantor, menyerahkan pekerjaan rumah pada pembantu, dan kesibukan khas a la pegawai kantoran. Alhamdulillah, beliau tetap berada di rumah. Mengurus kami berenam (bapak, aku dan ketiga adik-adikku, juga nenekku dari pihak ibu yang tinggal bersama kami). Untung pula, kelima kakakku tinggal di Mataram. Jadi, beban ibu bisa sedikit lebih ringan.

Beda ceritanya kalau aku sedang sakit. Ibuku akan sedikit lebih repot. Secara, kalau lagi sehat, aku masih bisa bantu-bantu ibu menyapu rumah, memasak di dapur, dan disuruh ini itu. Pekerjaan rutinku yang tiap pagi dan sore harus menyapu rumah harus 'agak' terbengkalai. Adkiku, si Oki, masih bengal-bengalnya. Menyapu saja tidak mau. Kerjaannya main mulu. Terus, adikku cewek, si Ofah, masih suka bermain-main dengan temannya. Si Arif yang palin bungsu, bah…nggak bisalah disuruh nyapu.

Akhirnya, tugasku semuanya ibu yang meng-handle. Untung tugas menyiram halaman rumah yang lumayan luas itu, sudah ada yang menangani. Ya, nenekku. Meskipun sudah renta begitu, namun beliau masih kuat mengerjakan hal-hal yang agak ringan, seperti menyapu dan menyiram halaman rumah, menanam sekaligus menyiangi tanaman kayak bunga-bunga dan pohon buah-buahan, serta kegiatannya sejak masih muda, menjahit.

Aku pun yang tergolek lemah di tempat tidur, hanya bisa tiduran, baca buku, makan, bangun untuk shalat, kemudian ke tempat tidur lagi. Kadang-kadang kalau bosan, aku menyetel televisi dan menonton acara-acaranya dengan tidak fokus. Maklum, pusing kepala masih kurasa. Tapi, aku lebih suka jika ada bacaan-bacaan menemaniku. Itung-itung sebagai suntikan bagi psikis. Buku kan bisa jadi obat tuh!

Namun, sakitku waktu itu tak seperti biasanya. "Seperti biasanya" maksudku adalah penyakit yang biasa aku alami. Paling sering panas karena kecapekan. Itu! Tapi, siang itu aku merasakan perutku mulas-mulas. Sakit. Aku pun ke kamar mandi. Dan seperti yang sudah kuduga. Aku mencret.

Penderitaanku tidak berakhir sampai di situ. Kepalaku pusing. Penglihatanku mulai mengabur. Badanku lemah. Ketika perutku seperti ada yang mengaduk-aduk dan siap 'dimuntahkan lewat bawah', aku pun ke kamar mandi. Tanganku masih memegang gagang pintu ketika pandanganku terasa berputar-putar. Aku merasa berada mendekati titik nol. Agak gelap gitu. Lalu, dengan sedikit tergopoh, aku menghempaskan diri ke bale-bale bambu yang kebetulan ada di dekat kamar mandi. Ya Allah…

Malam pun berlanjut. Sebagai peredam, ibuku memberiku minum cairan gula garam – oralit. Aku pun minta diambilkan pucuk daun jambu batu yang kebetulan banyak pohonnya di rumah. Jika mencret, aku memang lebih suka mengunyah daun jambu batu yang masih muda dan menelan esktraknya. Lebih cepat sembuh, menurutku.

Lalu, keesokan pagi harinya, belum sempat subuh kutunaikan, eh perutku lagi-lagi serasa dikuras. Seperti ada sendok yang mengaduk-aduk isi perutku. Sakit sekali. Aku pun bergegas ke kamar mandi. Dan, mencret lagi.

Atas inisiatif ibu, aku pun segera dibawa ke rumah salah satu anggota keluarga yang kebetulan jadi dokter dan membuka praktek di rumahnya. Kami biasa berobat ke sana. Dengan diantar oleh Kak Marjan, supir mobil dinas kantor bapak, aku yang benar-benar lemah dan merasa tak memiliki tenaga, dipapah oleh ibu. Untung saja rumah dokter yang aku biasa aku panggil Bibi itu, tidak jauh dari rumah kami.

Turun dari mobil, aku pun kembali dituntun oleh ibu. Beliau benar-benar terlihat cemas dengan kondisiku. Syukur sekali bibi dokter belum berangkat kerja. Karena saat itu aku ingat, masih sekitar pukul setengah tujuh pagi. Jadi, aku bisa langsung diperiksa kondisinya.

Tensiku diperiksa. Rendah sekali. Makanya aku lemah. Lalu, aku dibuatkan teh manis dan diberi biskuit. Untuk mengganjal perut juga kupakai minum obat. Setelah menyuntikku – aku kalau sakit memang lebih suka minta disuntik – kami pun pamit.

Di rumah, aku langsung rebahan. Ibuku pun sibuk menyiapkan sarapan untukku. Aku harus makan, lalu minum obat, kemudian istirahat. Tidur. Alhamdulillah, dua hari berikutnya kondisiku bisa pulih. Aku berhenti mencret.

Hmmm…

Jika mengenang itu kembali, aku rasakan sekali kasih sayang ibu yang tercurah padaku. Beliau di hari-hari biasa saja sudah benar-benar perhatian dan sayang padaku. Apalagi ketika aku sakit. Makanya, ketika dalam keadaan sakit itulah, aku biasanya ingat mati. Tapi, aku benar-benar nggak siap mati. Aku masih ingin berbakti. Terutama pada ibu.

Dua tahun setelah ibu tiada…

Alhamdulillah, aku agak jarang sakit. Kalau pun sakit, aku tidak bisa lagi bergumam lemah minta diantar ke dokter. Ibu yang selalu menemaniku jika sakit, sudah tiada. Mau nggak mau, aku harus lebih peduli lagi pada kesehatan diri. Aku pun, setelah berada di daerah orang, jika merasa akan sakit, segera membeli obat dan makan yang banyak. Lalu, istirahat.

Tak lupa, aku akan curhat pada kakak-kakakku yang perempuan, mengenai kondisiku yang lagi sakit. Biar merasa tidak sendiri gitu loh!!!

Alhamdulillah…


Surabaya, 11 Januari 2008

(teringat lagunya Gigi, 11 Januari)

0 comments: