27 Februari 2008

Lima Jagoan yang Kini Berubah


Anak laki-laki identik dengan sifatnya yang egois, nakal, mudah marah, pembantah. Nah, sifat-sifat itu tercetak pula di kami, aku dan keempat saudara laki-lakiku. Mulai Jahed, saudara laki-laki paling tua, hingga si bungsu Arif. Kami berlima, dulunya, adalah anak-anak yang sering membuat ibuku marah. Sangat suka membantah. Memberontak, tidak menurut.

Jahed, misalnya. Dia kakakku yang ‘menurut’ keluargaku adalah yang paling sering menyakiti hati ibuku. Dia memang nakal. Suka ngebut dan trek-trekan di jalan. Sering keluar malam, laksana kelelawar. Dan penampilan agak ugal-ugalan. Yah, pergaulannya yang bikin dia kayak begitu. Itulah yang bikin ibuku suka marah padanya.

Enong, kakak persis di atasku. Dia mungkin agak beda ketimbang kami. Semasa almarhumah ibuku masih hidup, dia memang alim. Jadi kebanggaan orang tua deh dari sisi kematangan beragama. Sering jadi muazzin, memimpin shalat, serta mengajar anak-anak tetangga ngaji di musholla keluarga kami. Disuruh ini itu, dia paling nurut. Melihara kambing-kambing ternakan keluarga pun, dia diserahi tanggung jawab. Makanya, nenekku saja lebih suka muji dia ketimbang kami, saudaranya lain.

Tapi, satu hal yang bikin ibuku suka marah sama dia adalah sifatnya yang keras, egois, dan sempat pula dijuluki ‘si tangan besi’. Kenapa? Sebab, kalau lagi memperebutkan sesuatu atau lagi iseng, dia nggak segan-segan main pukul. Tangannya keras. Sekali hantam di lengan, sakitnya nggak ketolongan. Makanya, dia sering dapet omelan gara-gara sifatnya yang kasar itu.

Next... Aku. Aku adalah pembantah paling ulung (tapi, kayaknya adikku Arif yang gantian pembantahnya minta ampuuun). Setiap kata yang terucap dari bibir ibuku, aku bantah. Ada saja kata bantahanku. Disuruh ini, aku emoh. Disuruh itu, minta pamrih. Dilarang ini, nggak denger. Dilarang itu, nggak mau. Aku memang penimbalan (suka membantah, red). Makanya, ibuku sering naik darah gara-gara ucapanku yang menusuk dan tidak mengenakkan hati beliau. Kalo bisa diibaratkan, aku dan ibuku layaknya two debaters. Masing-masing nggak mau kalah. Tapi, memang, ibuku yang lebih sering ngalah.

Lain aku, lain pula Oki. Adikku ini juga sepertinya ngikut aku. Penimbalan. Sama-sama suka membantah. Dia dijuluki telinga bebancelan (nasihat nggak masuk-masuk di otak). Masuk telinga kanan, keluar telinga kiri. Dinasehatin, eh...malah bales nasehatin. Kita bilang ini, dia juga ikut bilang ini. Siapa sih yang nggak gondok, coba? Ibuku pun jadi sering dibuat marah oleh dia. Sifat lain yang sering bikin ibuku marah pada Oki adalah malasnya dalam bekerja. Nggak mau disuruh ngerjain ini itu. Alasannya, dia merasa masih kecil. Masih banyak kakaknya yang bisa mengerjakan itu semua. So, pasti, kami sebagai kakak-kakaknya juga tak urung dibikin geram oleh tingkahnya.

Terakhir... Arif. Aku belum bisa mengeksplor ‘sisi nakal’nya yang berhubungan dengan ibuku. Namun, ada satu hal yang hingga saat ini, baik aku, dia, maupun seluruh keluargaku, bahkan tetangga dan kerabat pun tahu, bahwa si Arif pernah jadi anak paling mewek dalam keluargaku. Ia tak mau masuk sekolah kalo ibuku nggak turut serta. Ia akan nangis kalo ibuku tak mendampinginya di bangku sekolah. Ia bakal mengancam untuk tidak sekolah kalo ibuku tak mengantarnya ke sekolah, sekaligus jadi teman duduknya sebangku. Ya, selama setahun, ibuku harus duduk satu bangku dengannya di kelas satu Madrasah Ibtidaiyah. Inilah yang membuat ibuku kadang gerah. Kami pun demikian. Tapi, entah kekuatan apa yang dimiliki oleh ibuku, hingga beliau mau setiap hari kembali jadi anak SD.

Itulah, kami berlima, anak laki-laki pasangan Mamiq Hamid dan Inaq Muslimah. Kami, yang semenjak ibu jadi almarhumah, pun akhirnya pada berubah. Ya, sebab ibu tiada, kami berubah. Berubah lebih baik. Berubah jadi anak yang tidak hanya menyesali kedurhakaannya, namun juga belajar jadi anak sholeh yang ‘telat’ berbakti.

Jahed, Enong, Aku, Oki, dan Arif pun kin telah berubah. Masing-masing berubah dengan caranya masing-masing. Menyesali luka yang selama ini pernah kami torehkan di hati ibu. Lalu, belajar untuk mandiri, ‘berdiri’ tanpa ibu. Belajar jadi anak yang berbakti dan sholeh yang senantiasa mendoakan orang tuanya, lebih-lebih ibu. Belajar menjadi penerus cita-cita ibu. Belajar menjadi orang baik. Selalu belajar menggali hikmah di balik musibah tiadanya ibu. Ibu kami. Ibu dari sembilan anak. Lima laki-laki, empat perempuan.


Coretan hati sebelum ikutan lomba nulis puisi untuk ayah-ibu

Semoga menang... minta doanya!

Surabaya, 27 Feb 08

0 comments: