Tidak mudah menjadi ibu dari sembilan anak. Meskipun statusku sebagai anak, namun aku bisa membayangkan lelahnya seorang Muslimah, ibuku, untuk mengasuh, mengasah, membesarkan, serta mendidik kami. Namun, dari perjalanan panjangnya hingga bercucu dua, aku pun semakin kagum akan sosok perempuan yang kupanggil IBU itu.
Di tulisan ini, aku hanya akan membidik satu angle saja mengenai ibuku. Sudut pandang yang menurutku ‘tidak’ semua ibu memilikinya. Apa itu? Luka hati yang dibalas dengan doa. Maksudnya?
Begini. Seorang ibu yang memiliki anak-anak bengal, nakal, hiperaktif, atau apalah namanya, pastinya akan membuat sang ibu mau tidak mau naik darah. Ya, tidak semua anak begitu. Namun, ada kalanya anak membuat jengkel orang tuanya. Kebengalan anak tersebut mungkin ditunjukkan lewat ucapan kotor, perbuatan menjengkelkan, sikap yang kasar, dan sebagainya. Sang orang tua tentu akan marah. Kemarahan orang tua aka ditunjukkan dengan menghardik, melarang, teriak agar menghentikan, suruhan untuk tidak melakukan, atau hanya berkata-kata pedas pada sang anak.
Ya. Demikian pula adanya dengan ibuku. Saking jengkelnya dengan perbuatan kami yang tidak patuh, manut, dan cenderung memberontak, beliau terkadang mengeluarkan kata-kata hardikannya. Pun kalo nakal kami sudah kelewatan, beliau akan memukul ringan. Entah dengan tepukan di pantat atau memakai sapu lidi. Tapi, jangan bayangkan film SAW. Ibuku bukan psikopat kok!
Tapi, belakangan, ketika anak-anaknya sudah dewasa, ada yang beranjak dewasa, serta ada pula yang masih anak-anak, ibu kami mulai berubah. Kata-kata ‘kasar’ sudah tidak efektif lagi. ‘makian-makian’ nggak jelas hanya memberikan efek negatif bagi kejiwaan kami. Ingin berteriak? Ah, ibu sudah capek. Buang-buang energi saja. Memukul atau maen kasar, sudah tidak lagi dilakukan ibu. Ya, enam anaknya sudah dewasa, sementara yang tiga masih anak-anak. Kami, yang sudah dewasa, tentu saja dengan pola pikir yang sudah berubah, sehingga tidak lagi ingin diperlakukan seperti anak kecil. Dan ibu kami pun sudah menyadari hal itu.
Tapi, beda dengan Oki, adik yang persis di bawahku. Atau kami yang sudah besar, namun sesekali berlaku seperti anak kecil. Oki atau aku atau Enong atau Jahed jika membuat sebal orang tua, ibu khususnya, bukan perlakuan otoriter yang bakal kami terima. Bukan teriakan kasar yang kami terima. Bukan kata-kata amarah yang terlontar. Tapi, yang keluar dari bibir ibu kami adalah DOA. Ya, kami bengal, malas, atau apalah yang bikin orang tua jengkel, kami malah diDOAkan. Ya, doa-doa untuk menjadi orang yang baik. Doa agar jadi orang sholeh, berilmu, berbuat baik. Itu saja!
Aku juga ibuku sama-sama yakin, bahwa DOA SEORANG IBU SANGAT MAKBUL. Tiada hijab (halangan) ketika doa terlontar dari bibir beliau. Allah akan mendengarkan bahkan tidak segan lagi untuk mengabulkan pinta, harap, dan ratap beliau. Saat beliau marah karena ulah anaknya, lalu keluar makian yang tidak pantas untuk didengar, seperti “Mudahan kamu jadi monyet!”, maka sang ibu harus hati-hati. Keridhoan Allah tergantung dari keridhoan ibu. Jika Allah saat itu meng’amin’i kata-kata si ibu, bukan tidak mungkin si anak akan berperilaku atau mungkin yang lebih ekstrim lagi, berubah menjadi monyet. Na’udzubillah...
Namun, ibuku rupanya tak ingin anak-anaknya sering mendengarkan kata-kata tidak enak darinya. Bukankah, selain dia (ibu, red) sendiri yang bakal berdosa, efek bagi kami, anak-anaknya, pun tidak akan baik? Maka, ketika ibuku marah, namun justru meluncur doa-doa tulus demi kebaikan kami, kami dengan sendirinya sadar. Kami sadar akan tulusnya hati seorang ibu. Kami sadar bahwa durhaka pada ibu, dosanya besar sekali. Kami sadar, bahwa hati seorang ibu luar biasa sekali. Tak ada duanya.
Dan...setelah beliau tiada, aku rasakan sekali efek doa beliau. Adikku, Oki, juga demikian. Kami, yang laki-laki yang sering bikin sakit hati ibu, khususnya. Di kala marah, beliau justru mendoakan kami. Dan...itu terbawa hingga kami dewasa kini. Merasakan manfaat doa-doa beliau semasa hidup, juga tatkala marah, namun tetap dengan hati tulus mengharapkan kebaikan demi kebaikan tercurah pada kami.
Ya, itulah ibu. Hatinya diselami, dasarnya tak bakal ditemui. Doanya bagai samudera bercahaya tak bertepi. DOA SEORANG IBU, SANGAT MAKBUL.
02 Maret 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 comments:
Posting Komentar