Ini adalah salah satu seruan ibuku. Biasa, setelah shalat subuh di musholla dekat rumah, beliau pun berjalan-jalan di sekitar rumah. Paling sering ke areal terminal bis depan rumah yang selalu sepi di pagi hari. Ya, sebuah areal dengan hamparan kerikil kecil-kecil. Ibuku senang berjalan-jalan di situ. Telapak kaki terasa enak, peredaran darah pun jadi lancar, sebab kaki yang bersentuhan langsung dengan kerikil. Begitu kata ibuku.
Selama jalan-jalan pagi itu, beliau sekalian zikiran. Zikir dalam hati, tentunya. Lebih sering membaca tiga surat Al-Qur’an paling akhir: Al-Ikhlas, Al-Falaq, dan An-Nash. Jadi, ketika berkeliling di areal terminal yang berkerikil atau ‘mengukur’ jalan raya sepanjang dua kilometer depan rumah, beliau bisa membaca puluhan surat pendek tersebut. Itu, tuturan beliau pada kami.
Kami, anak-anaknya, kadang ngikut beliau jalan-jalan, lebih sering diam di rumah. Shubuh, bagiku khususnya, lebih sering kugunakan untuk belajar dan mempersiapkan alat-alat pelajaran yang akan kubawa sekolah. Shubuh, waktu yang paling enak untuk belajar. Pikiran masih tenang, otak masih fresh, suasananya pun segar. Jadi, pelajaran lebih cepat masuk.
Tapi, kalau tidak ada PR atau tidak ada bahan bacaan yang mesti dibaca, aku suka ikut bersama ibu. Jalan-jalan. Adikku bungsu, Arif, juga sering ikut. Saudaraku yang lain juga. jadi, kami beramai-ramai di jalanan. Biasanya sambil membawa bola tendang. Jadi, di jalan bisa sekalian main bola. Untung jalan raya di pagi hari masih sepi dari kendaraan. Jadi, bebaslah berlarian, berloncatan, tendang sana, tendang sini, jalan-jalan santai, dan sebagainya.
Jalan-jalan pagi lebih intensif lagi kami lakukan saat bulan puasa. Dan, tidak hanya keluargaku saja. Masyarakat di kota kecilku pun ramai yang turun di jalanan. Biasa dalam bentuk rombongan-rombongan. Laki-laki perempuan lebih sering campur. Namun, ada juga kelompok yang hanya perempuan atau laki-laki saja.
Ya, cuma jalan-jalan. Menikmati udara pagi. Melihat pemandangan sekitar yang masih agak samar, maklum gelap. Pun, aku dan saudara-saudaraku ikut turun di jalanan sehabis shubuh. Pulang jalan-jalan, langsung tidur. Yesss!!!
Namun, ibuku lain. Selama bulan puasa, sepulang jalan-jalan pagi, beliau pulang dan langsung mengisi gerompong ketupat dengan beras. Gerompong itu, anyaman ketupat yang belum diisi dengan beras. Sebulan berpuasa, selama itu pula keluargaku membuat ketupat. Dan, tugas ibuku adalah mengisi ketupat dengan beras. Sementara kami, anak-anaknya, lebih sering membantu menganyamkan gerompong topat (ketupat, Sasak).
Surabaya pagi
4 Maret 2008
05 Maret 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 comments:
Posting Komentar