29 Mei 2008

Firasat Mobil Dinas

Sejak bapak diamanahi mobil dinas dari kantornya, semua kami sepakat kalau ibu berubah. Beliau yang dulunya sangat anti bepergian, khususnya pergi jauh dengan mobil, sekarang justru malah sebaliknya. Beliau bisa tahan untuk tidak muntah dan pusing-pusing meski perjalanan jauh naik mobil. Heranlah kami!

Bukan berarti beliau malah makin senang jalan-jalan dengan mobil dinas amanah rakyat. Bukan! Beliau akan bersemangat bila diajak anjangsana ke sanak famili yang sebelum-sebelumnya amat jarang dikunjungi. Beliau mengunjungi rumah adik-adiknya, menyambung tali silaturrahim dengan keluarga bapakku.

Sebab, selama ini, ibukulah yang sering dikunjungi oleh keluarga kami yang lain. Makanya, jika lebaran tiba, sementara kami – anak-anaknya – pergi ke keluarga bapak di Lombok Tengah sana, maka ibu memilih jadi penjaga rumah. Ya, disebabkan oleh itu! Cepat mual, pusing, dan muntah kalau naik mobil untuk jarak jauh.

Dan... perubahan ibu itu – dulu tidak bisa naik mobil, sekarang bisa – boleh jadi menjadi sebuah firasat.

Firasat apa?

Firasat bahwa beliau memang sebentar lagi akan meninggalkan kami untuk selama-lamanya. Ada untungnyalah kami diamanahi mobil dinas. Sebab kami tidak punya mobil pribadi, setidaknya mobil dinas ini bisa kami gunakan pula untuk hal-hal baik ‘di mata kami’. Ya, mengunjungi dan menyambung tali silaturrahim dengan sanak keluarga bapakku yang selama ini jarang-jarang kami kunjungi kalau bukan pada lebaran atau ada acara-acara tertentu.

Aku pun menyadari itu. Sadar bahwa ternyata sebelum ‘berakhir’, ibuku telah mencoba berbagi, berbuat baik, dan memupuk amal ibadahnya dengan itu... mempererat hubungannya dengan keluarga suaminya, bapakku.

Beliau makin rajin berkunjung ke Rebile, desa asal bapakku. Di sana bapak dan ibuku membagi-bagikan pakaian dan celana bapakku yang kekecilan tapi masih layak pakai, kebutuhan shalat, juga secukup uang. Terlihat jelas di mataku binar bahagia di wajah ibu saat melakukan hal itu.

Meskipun setelah kupikir-pikir bahwa mobil dinas seharusnya dipakai untuk urusan rakyat, bukan untuk kepentingan pribadi/keluarga seperti yang dilakukan bapak dan ibuku – kami juga, namun aku pun tak mengelak bahwa kalau untuk melakukan kebaikan, kenapa tidak? Dan aku sedikit melakukan pembelaan di sini: bensin untuk mobil dinas tak sepenuhnya dibayar oleh kantor. Justru lebih banyak keluar dari kantong bapakku. Belum lagi perawatannya. Nah...

Hari-hari menjelang kepergian ibu, sanak keluarga yang dikunjungi kemarin-kemarin itu, justru balik mengunjungi beliau. Apalagi ketika beliau masuk rumah sakit. Tak putus-putusnya jengukan dan beslahan.

Panjatan doa selalu untukmu, ibu. Semoga amal kebaikanmu, memeroleh catatan wangi di sisiNya. Serta, coretan burukmu, moga-moga diampuniNya.

Amiiiiiinnn...


Surabaya, 28 Mei 2008

0 comments: