26 Mei 2008

Pijitan Sayang untuk Bunda Seorang

Seharian ibu bekerja. Mulai pagi hingga petang. Tentunya, rasa lelah dan capek itu ada. Maka, seringkali ibu meminta kami untuk sekadar memijat beliau di bagian kaki, tangan, dan punggung.

Reaksi kami???

Lebih banyak ogahnya. Apalagi adikku yang laki-laki, Oki. Dia memang lagi bandel-bandelnya. Perintah, suruhan, permintaan tolong, selalu dijawab dengan gelengan. Kecuali kalau ada pamrih. Berbentuk duit atau yang lain. Pokoknya, perekengan (perhitungan, red).

Ibu memang sering menyuruh anaknya yang laki-laki untuk mijitin beliau. Kalau kami sedang serempak menolak, yang turun tangan adalah bapakku. Beliau malah pakai balsem dan minyak urut segala. Nah, ini nih yang tidak ingin belepotan di tangan kami. Balsem dan minyak urut.

Kalau pun terpaksa mijitin beliau, palingan kami bertahan cuman sebentar. Asal-asalan. Ogah-ogahan. Sekenanya. Tontonan di TV atau main bersama teman-teman lebih mengasyikkan ketimbang mijitin beliau. Kalau ada acara yang tak mungkin aku lewatkan begitu saja, aku yang malah meminta ibu agar berbaring saja di depan televisi. Kan bisa mijit sambil nonton TV!

Pokoknya, kami mijit dengan mengajukan banyak persyaratan. Entah, sehabis mijit, minta diberi upah. Mijitnya cepat-cepat. Mijitnya bagian kaki sebelah kiri saja. Nggak usah pake balsem, panas. Mijitnya sambil nonton TV aja. Mijitnya jangan sekarang, nanti saja!

Itulah kami. Anak-anak ibu yang masih bandel dan masih lebih suka bermain.

Namun, setelah beliau tiada, justru kami merindukan disuruh untuk mijitin. Kami rindu menarik jari-jemari beliau hingga terdengar bunyi gemeletuk, tandanya pegal beliau sudah selesai. Kami ingin sekali kembali mengurut betis ibu, memijit lengan dan telapak kaki beliau. Sungguh! Sangat menyesal kami telah menolak, membantah selama ini. Amat sangat!

Dan apalah artinya penyesalan yang selalu datang terlambat itu???

0 comments: