Saat masih kecil, oleh orang tua, kita diajarkan untuk selalu memberi salam sebelum pergi. Terlebih-lebih, sebelum berangkat sekolah. Mencium tangan sekaligus mengucapkan “Assalamu’alaikum” sudah merupakan satu paket lengkap. Orang tua yang agak ‘modern’ sedikit, tak lupa cipika cipiki anaknya.
Setelah beranjak dewasa, katakanlah memasuki masa remaja, masihkah kebiasaan itu kita terapkan?
Saya sendiri, jujur, tidak selalu demikian. Entah kenapa kalau terhadap bapak, saya seringkali tidak salaman. Tapi, kalau ibu, berasa wajib bagi saya! Sedapat mungkin saya mencium tangan sang bunda, sekalipun beliau sedang berkutat di dapur dengan tangan yang coreng-moreng atau pun baru pulang dari pasar dengan tangan masih penuh belanjaan. Saya akan cium tangan beliau. Kalau akan ujian, tak lupa, plus doa.
Sekalipun surga itu terletak di kaki ibu – yang mana amat jarang sekali kita mencium kaki ibu – gimana dengan mencium tangannya??? Bagi saya, justru di tangan ibu kitalah surga itu berada.
Bagaimana tidak?
Tangan ibu kitalah yang membelai kita lembut saat kita masih di dalam kandungan. Tangan bunda pula yang menyentuh kita dengan kasih sayang ketika telah terlahir menjadi ‘sosok merah tak berdaya’. Tangan itu yang memandikan, mencucikan kain (popok) yang kotor karena kotoran dan air kencing kita. Tangan itu yang menggelar selimut di atas tubuh kita agar tidak kedinginan. Tangan itu pula yang memeluk kita saat kita butuh penguatan.
Lalu, sudahkah kita ciumi tangan itu? Sudahkah kita temukan wangi surga di situ? Atau justru, sudah lama tangan itu kita biarkan mendingin, mengasar, dan tak tersentuh di bibir, pipi, atau jidat kita?
Apalagi mencium kakinya!
Surga itu tak sulit mencarinya, Sobat!
Ia ada di samping kita, dekat dengan kita. Akankah kita melepaskannya begitu saja? Membiarkan surga itu hingga waktu ‘kan tiba mendinginkannya???
Surabaya, 23 Mei 2008
26 Mei 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 comments:
Posting Komentar