30 Mei 2008

Membantah Ibu

Masa Madrasah dulu, aku terbilang anak yang lumayan pembantah. Tak hanya perkataan guruku pernah kubantah – yang bahkan menjadi bumerang bagiku karena beliau sampai menangis dan aku kena hukum – tapi, terlebih lagi orang tuaku. Sudah dikenal seantero rumah kalau aku memang hobi membantah alias penimbalan (red, Sasak).

Ibuku apalagi.

Beliau menyuruhku mengerjakan ini, kutolak dengan argumen itu. Beliau memintaku mengambilkan ini, tak kugubris. Beliau menginginkanku seperti ini, tak jua kuturuti.

Bukan aku saja yang berperilaku demikian. Kakak dan adikku, terutama yang laki-laki memang lebih suka membantah daripada saudaraku yang perempuan. Itu saat kami masih kecil-kecil. Usia SD-SMP lah. Tapi, beranjak dewasa, perlahan sifat itu meluntur dengan sendirinya.

Sempat aku bertanya pada diri sendiri: Apakah setiap anak memang di’wajib’kan melewati masa pembantahan seperti itu?

Sebab, rata-rata anak kecil, apalagi zaman sekarang ini, sudah tidak terlalu hormat pada orang tuanya. Malahan, mereka suka main perintah pada ibu bapaknya. Menunjuk pakai tangan kiri. Adat bicara sudah tidak diindahkan lagi. Berseliweran di depan orang yang lebih tua tanpa sopan santun. Apakah memang begitu yang harus mereka alami, meskipun dulunya aku tidak seekstrem mereka?

Di sini kita tidak mencari kambing hitam. Kalau pun itu merupakan suatu hal yang wajar, tapi sewajar apakah? Jangan-jangan, karena kita punya anggapan bahwa perilaku anak-anak yang seperti itu adalah wajar, terus orang tuanya pun membiarkan? Ntar bakal nyadar sendiri, kok... Oya? Kalau anak-anak mereka tidak nyadar, gimana?

Aku dulu jikalau berbuat kurang sopan pada orang tua, membantah misalnya, aku pasti dapat hukuman. Minimal teguran atau tepatnya, omelan. Bahkan ancaman juga, semisalnya, dikurangi uang jajan. Efeknya? Aku jadi tahu, kalau ternyata membantah itu tidak baik.

Ada saat-saatnya memang kita harus membantah. Misalnya, kalau orang tua menyuruh kita melakukan perbuatan yang melanggar agama, minum minuman keras, berzina, atau menyekutukan Tuhan. Sebagai anak, kita harus membantah. Tentu saja, kita tidak lantas memusuhi mereka gara-gara perintah mereka di luar batas agama itu. Kita tetap diwajibkan untuk berperilaku baik, bertutur sopan, dan berbakti padanya. Sekalipun kita berseberangan keyakinan dengan mereka!

Tapi, Alhamdulillah... hubungan saya dengan orang tua tidak sampai seekstrem itu. Palingan hanya penyakit membantah saja yang paling sering kumat. Itu pun frekuensinya berkurang seiring dengan bertambahnya usia saya. Sebab, bagaimana pun sebagai manusia kita akan mengalami transformasi. Syukur kalau transformasinya menjadi insan yang lebih baik dari hari ke hari.

Jadi, kita tak perlu risau dong dengan kondisi anak sekarang? Bukan! Bukan itu maksud saya dengan esensi transformasi ini! Yang namanya proses, pasti akan tetap dipengaruhi oleh lingkungan eksternal si anak juga. Nah, di sinilah keluarga memegang peranan penting. Kunci baik tidaknya moral dan akhlak anak, tergantung bagaimana orang tua memberi didikan. Yang paling penting, tentu saja contoh. Teladan. Anak-anak butuh sosok yang perlu mereka teladani? Kalau bukan contoh baik dari orang tua, terus siapa lagi???




Surabaya, 30 Mei 2008

0 comments: