22 Januari 2008

Ibuku Pedagang Kangkung



Dulu, sewaktu masih kecil, aku adalah partner setia ibu tiap kali pergi ke pasar. Kebetulan di rumah, kami menanam kangkung. Dijual ke pasar pagi-pagi sekali. Aku dan ibu selalu jalan kaki. Dia menjunjung karung yang berisi kangkung di atas kepalanya, sementara aku berjalan di sisinya.


Di pasar, aku sibuk memperhatikan orang yang berjualan. Para pembeli yang datang silih berganti. Menawar kangkung jualan ibuku yang telah diikat-ikat gitu. Sepesel, istilah Sasaknya. Jadi, satu ikat atau satu pesel kangkung itu dijual kalo nggak salah lima ratus dapet tiga ikat. Ah, aku agak samar-samar juga sih masalah harga. Soalnya, hukum tawar-menawar akan selalu berlaku di sana.

Jika hari mulai agak terang, pasar yang memang berada di depan pertokoan itu, akan perlahan-lahan sepi. Para pemilik toko sudah buka. Lahan parkir yang digunakan untuk pasar harus dikosongkan. Meski tidak sedikit yang memang stay atau punya kaplingan untuk berjualan di situ.

Pasar pagi yang bisa dibilang dadakan ini memang tempat ibuku berjualan. Aku masih ingat betul, ibuku mengambil posisi jualan di dekat pos polisi, agak mepet jalan raya. Begitu sampai, biasanya ibu-ibu yang memang langganan ibuku akan segera berebutan menurunkan kangkung dari atas kepala ibuku. Aku sih hanya bisa menikmati episode hiruk-pikuk pasar itu.

Jika kangkung ibuku sudah habis, maka kegiatan selanjutnya adalah membeli bahan-bahan dapur. Ibuku pergi sendiri berkeliling mencari kebutuhan rumah. Aku biasanya ditiipkan ke pedagang lainnya. Sambil menunggu ibu balik, aku asyik makan jajanan pasar yang banyak dijual di situ. Aku akan lahap memakannya. Apalagi kue lupis atau serabi atau klepon. Tapi, aku lebih doyan makan telur puyuh. Nggak tahu kenapa. Rasanya aja yang enak kali ya? Tak heran, tiap kali pulang dari pasar, aku mesti bawa oleh-oleh telur puyuh untuk dimakan di rumah.

Kalau belanjaan ibu banyak, kami naik becak. Becak di Lombok beda dengan becak di Pulau Jawa. Di sana, becak itu ya…yang ditarik oleh kuda. Bukan yang dikayuh oleh abang becak. Di sana, penarik becaknya dikenal dengan sebutan kusir. Ah, pasti Anda tau kan?

Nah, begitulah sepenggal episode yang pernah aku jalani bersama ibuku saat aku masih belum masuk Madrasah Ibtidaiyah dulu. Kebiasaan ini berlanjut hingga aku duduk di bangku MI. Jika hari libur, aku dengan senang hati ikut ke pasar bersama ibuku. Nanti di pasar aku akan minta dibelikan ini itu. Tapi, yang mengasyikkan adalah, aku punya keluarga yang aku panggil dengan sebutan 'paman' yang seringkali memberiku uang. Aku kan jadi senang.


surabaya, sehari sebelum mudik…
nyampe di lombok, ingin nostalgia lagi di pasar….
sayang, aku sudah tidak bisa ditemani lagi oleh ibu…
hiks…

0 comments: