17 Februari 2008

Ibuku yang ‘Dipaksa’ Jadi Orang Kantoran


Sejak bapak diamanahkan menjadi kepala departemen agama kabupaten lombok timur, ada beberapa hal yang berubah. Mungkin yang paling kentara adalah hadirnya sebuah mobil dinas, panther hijau berplat merah kinclong. Selain itu, kursi yang sudah usang di ruang tengah pun, diganti dengan satu set kursi jati berwarna merah kokoh. Maklum, tamu bapak akan semakin banyak dengan beragam latar belakang. Mau tidak mau, wajah rumah kami harus dipoles sedikit. Itu tampilan fisik.

Satu perubahan lain yang coba ingin kucatat adalah berubahnya jadwal ‘syuting’ ibuku. Selama ini, beliau adalah ibu rumah tangga. Rumah menjadi kantornya. Rumahlah, tempat beliau membuka dan menutup hari. Sehari-hari beliau menghabiskan waktunya di rumah. Memasak, mencuci, membersihkan rumah, melaksanakan tugasnya sebagai ibu sekaligus istri. Beliau adalah sosok ibu rumah tangga sejati.

Setelah bapak berstatus kakandepag, secara otomatis ibuku menjadi ibu kakandepag. Mau tidak mau, beliau harus bersinggungan dengan urusan baru, yaitu sebagai ibu pejabat. Beliau mulai kenal dengan yang namanya arisan ibu-ibu kantor. Beliau lebih sering lagi menghadiri acara-acara seremonial. Beliau diangkat menjadi ketua dharma wanita di lingkungan Depag. Beliau mulai belajar berpidato. Beliau makin sering berinteraksi dengan dunia kepegawainegerian.

Aku masih ingat, waktu itu beliau akan menyampaikan sebuah pidato di depan ibu-ibu dharma wanita. Karena tidak terbiasa, bahkan nyaris tidak pernah berpidato semenjak jadi ibu rumah tangga, ibuku pun memintaku mengajarkannya. How to speech in the public area. Kebetulan konsep pidatonya sudah dibuatkan oleh sekretaris dharma wanita. Ibuku tinggal membacanya saja.

Bak seorang pelatih profesional, aku pun mengajarkan ibu cara berpidato a la Fatah. Kebetulan aku pernah punya pengalaman berpidato sejak SD. Aku menilai cara berdiri ibu, intonasi, artikulasi, kelancaran, cara memandang teks, dan sebagainya. Tapi, tentunya aku nggak berlebihan dalam menilai. Aku ingin ibuku menjadi dirinya sendiri. Dalam kondisi apapun.

Ketika itu, akulah yang bertugas menyetrika pakaian orang-orang serumah. Pakaian bapak, ibu, juga adik-adikku. Nah, gara-gara tidak telaten, sebuah rok warna krem milik ibuku pun jadi cacat. Setrika panas, kain lunak, dilindas agak lama, melelehlah dia!

Aku merasa bersalah. Apalagi itu rok sudah sepaket dengan atasannya. Tapi, ibu nggak marah. Kelalaianku bisa dimaafkan.

Andai saja aku punya koleksi baju segudang seperti Ivan Gunawan, ibuku pasti punya pilihan beragam agar bisa tampil lebih elegan. Ah, ibu rumah tangga yang ‘dipaksa’ jadi orang kantoran...

Pancor, tulisan kelima tentang bunda...

0 comments: