Ini memang bukan bulan Ramadhan. Tapi, daripada ideku ini terbuang hanya untuk menanti waktu yang tepat untuk menuliskannya, yaitu bulan Ramadhan, mendingan aku tulis aja sekarang. Mumpung mood-ku masih bagus dan energi masih ada untuk menulis.
Hooop...kolaborasi bikin ketupat.
Semenjak ibu tiada tiga tahun yang lalu, sejak itu pula bulan puasa kami terasa ‘kurang’. Ada yang hilang. Salah satunya, ketupat bikinan ibu. Tiga ramadhan terlewatkan tanpa ketupat terhidang di atas pelangkan (bale-bale bambu, Sasak). Kangen sekali rasanya. Pelecing kangkung dan urap-urap pun, dengan terpaksa menghilang dari menu berbuka puasa kami. Dua menu ini memang paling maknyus disajikan dengan ketupat.
Ya, di keluarga kami memang punya kebiasaan bikin ketupat selama bulan puasa, 30 hari penuh. Tidak seperti keluarga lainnya yang mungkin berketupat hanya di hari raya saja.
Itu pun ketupat kami bikin sendiri, bukan beli. Aku akan membantu ibuku membuat selongsong ketupat dari daun kelapa yang masih muda (janur) yang diambil dari sawah. Aku biasanya membuatnya siang-siang. Terkadang hingga malam setelah shalat tarawih. Shubuhnya, ibuku akan mengisi selongsong ketupat itu dengan beras lalu dimasukkan ke dalam dandang. Setelah itu direbus. Proses merebus hingga menjadi ketupat yang matang memakan waktu tiga – lima jam. Ketupat matang, lalu diangkat. Dinginkan sebentar di dalam bak. Lalu, kami simpul tali ketupatnya dan digantung di lonjoran bambu.
Begitulah aktivitas kami membuat ketupat selama bulan puasa. Begitu sore datang, aku, saudara-saudaraku, dan ibuku tentunya sudah berkutat di dapur. Memarut kelapa; merebus kangkung, kecambah, kacang panjang, kubis, daun singkong; mengulek sambel; membelah ketupat; memecah-mecah balok es; membelah kelapa muda; dan lain sebagainya. Intinya, mempersiapkan menu berbuka.
Ketupat yang kami bikin, bukan untuk kami konsumsi sendiri. Ibu memang sengaja bikin ketupat lumayan banyak karena akan disedekahkan pula pada para tetangga dan keluargaku lainnya. Akulah yang sering bertugas mengantarkan bebukayan (menu berbuka, Sasak) ke rumah-rumah tetangga. Terkadang, anak tetangga yang disuruh datang ke rumah untuk mengambil sendiri piring atau baskom yang berisi urap-urap pelecing plus ketupatnya.
Ini berlaku selama satu bulan penuh. Gantian, kadang-kadang tetangga yang membawakan kami makanan. Aku yang bertugas sebagai pengantar, sering pula dikasih uang atau makanan apa gitu oleh tetangga. Betapa senangnya. Makanya, meskipun terkadang hujan, aku rela saja berhujan-hujan dengan payung daun pisang, mengantarkan dari satu pintu ke pintu lainnya. Ah, memang indah nian berbagi.
Namun, kini ketupat kolaborasi sudah tidak ada lagi. Tiga Ramadhan ini sepi dari ketupat. Ah, andai momen itu bisa terulang kembali. Tapi, ah... inilah roda. Berhenti sebentar saja, kehidupan jadi tak seimbang.
Ketupat hasil kolaborasi yang memberi inspirassi
Rabu, tulisan keenam yang aku bikin dalam setengah hari ini...
0 comments:
Posting Komentar