17 Februari 2008

Mengawali Hari dengan Air


Ya, memasak air. Itu adalah aktivitas pertama yang dilakukan oleh ibuku di pagi hari begitu beliau bangun. Memasak air untuk minum kami. Memasak air penyeduh kopi. Memasak air jikalau kami ada yang butuh air hangat untuk mandi.

Memasak air untuk mengawali hari adalah kebiasaan ibuku. Mengamati hal tersebut, sempat terpikir olehku, betapa berharganya air di mata ibuku. Ini pula mungkin yang telah ditanamkan oleh orang tuanya, kakek nenekku, pada ibu.

Memang ibuku seringkali cerita kalau dulu, saat ia masih kecil hingga beranjak remaja, orang tuanya selalu bangun tidur jauh sebelum shubuh. Selain untuk qiyamul lail, juga untuk menyiapkan makanan bagi pekerja-pekerja yang membantu menggarap sawah nenek-kakekku. Dan, ibuku beserta saudara-saudaranya yang lain seringkali ikut dibangunkan sepagi itu untuk membantu. Entah itu menimba air di sumur, mencuci beras, memandikan adik-adiknya yang masih suka ngompol, dan sebagainya.

Kebiasaan ini rupanya berlanjut hingga sekarang. Ibuku biasanya bangun lebih awal ketimbang bapakku. Beliau segera ke dapur, cuci muka, membersihkan abu di tungku, menyiapkan kayu bakar di perapian, mengisi teko yang sudah menghitam pantatnya dengan air, lalu menyalakan api. Sembari menunggu airnya mendidih, ibuku lalu membangunkan kami, anak-anaknya, satu per satu. Menyuruh kami segera mengambil air wudlu’. Azan shubuh dari musholla dekat rumah pun menggema.

Sehabis salam, ibuku akan turun dari musholla, melihat air sudah mendidih atau belum. Jika sudah, beliau akan langsung memindahkan airnya ke dalam dua buah termos kami yang berwarna merah dan putih. Lalu, menyeduh jamu untuk bapak dan kopi untuk nenekku. Tak lupa bagi dirinya sendiri. Kadang teh, kadang kopi, kadang daun mint segar yang diseduh air panas. Aku pun lebih sering minta dibuatkan susu panas.

Barulah setelah aktivitas seduh-menyeduh, ibuku melanjutkannya dengan menanak nasi. Kami, anak-anaknya, sibuk bersiap-siap berangkat ke sekolah. Mandi, lalu sarapan mie atau nasi goreng yang dibuat oleh ibu.

Jika kami, anak-anaknya, sudah berangkat ke sekolah masing-masing dan bapak pergi ke kantor, tinggallah ibu di rumah, bersama nenekku. Lalu, beliau pun memulai ‘tugas suci’nya sebagai ibu rumah tangga.

Pancor, kangen rumah lama

0 comments: