17 Februari 2008

Ojek Buat Ibu


Di antara kami bersembilan, hanya lima yang bisa mengendarai motor: Kak Atun, Jahid, Enonk, aku, dan Oki. Karena tiga kakakku di atas lebih sering berada di Mataram, sementara aku dan adik-adikku tinggal di Pancor, akhirnya jadilah aku pengojek sejati ibu.

Ibu ke pasar, ibu ke sawah, ibu ke pertokoan, dan tempat-tempat lainnya, aku yang menjadi ojek beliau. Kalau kebetulan kakak-kakakku lagi berada di rumah, dia yang mengantarkan. Kalau kami, yang bisa bersepeda motor, tidak ada, maka ibu akan naik becak. Jikalau bisa dijangku dengan jalan kaki, jalan kakilah beliau. Kalau perjalanan jauh, misal dari Pancor – Mataram, ibu akan naik mobil.

Sebelumnya, ibuku tak terbiasa naik mobil untuk perjalanan jauh. Dia pasti akan mabok, mual, pusing-pusing, muntah. Makanya, tak heran amat sangat jarang ibuku bepergian dengan rute yang memakan waktu satu jam lebih. Beliau memilih tinggal di rumah. Dan, kami, anak-anaknya, akan diutus untuk mewakili beliau.

Namun, semenjak motor dinas bapak ada, diikuti dengan hadirnya supra fit biru-ku, jadilah ibu kalau ke mana-mana (yang dekat jaraknya), pasti kami antar dengan sepeda motor. Karena aku sendirian orang rumah yang bisa naik motor, bapakku tidak bisa, Oki juga belum bisa, akhirnya akulah yang mengojek ibu ke mana pun beliau pergi.

Ada kejadian lucu, tapi menggetirkan. Waktu itu, dengan motor dinas bapak yang bergincu merah (platnya kan merah menyala gicuuu), aku mengantar ibu ke sawah. Sekembali dari sana, beberapa meter sebelum mencapai rumah, kami di-stop oleh polantas. Kebetulan posnya ada persis di dekat rumahku.

Aku hanya ber-helm tengkorak putih, sementara ibuku berkerudung. Ya Ampuuun... Pasti kena tilang nih! Apalagi bawa motor dinas ke sawah. Mereka pasti tahu kami sudah ke sawah hanya dengan melihat sayur-mayur yang ada di bagian depan motor. Aku sudah ketar-ketir duluan membayangkan wajah sinis polisi-polisi itu. Dengan grogi, aku pun berhenti tepat di depan pos mereka. Sementara ibuku adem-ayem aja di belakang.

Ketika ditanya, mana SIM dan STNK, aku cuma bisa kemos (senyum, Sasak ) mirip kadal. Wajahku udah merah padam bara menyala di mana-mana (hiperbol banjets). Aku pun mencoba nyari alasan dengan bilang kalau, “rumah saya di depan situ, Pak!”. Tujuanku tak lain dan tak bukan agar diberikan jalan, diloloskan dari interogasi yang bikin grogi, dan dikasih uang jajan oleh pak polisi (loh???).

Meminjam istilah Prof. Dr. Yohanes Surya, MESTAKUNG terjadi. SeMESta menduKUNG jika kita berada dalam posisi kritis. Ahaaaaa....

Ada salah seorang polisi di situ yang mengenal ibuku. Dia pun angkat bicara dan menyuruh temannya yang sedang menginterogasi kami itu, agar memberikan kunci kontak motor dinas bapakku yang bergincu merah itu. Aku pun menyalakan motor dengan tangan berkeringat. Ibuku tak lupa mengucapkan terima kasih. Tanpa memandang lagi tampang-tampang polisi itu, aku pun tancap gas. Meninggalkan asap knalpot menghiasi wajah-wajah kusam dan sok jagoan si polisi-polisi laper uang tersebut.

Oh...aku tak pernah membayangkan diri ini jadi TUKANG OJEK dengan MOTOR DINAS KANTOR BERGINCU MERAH MEREKAHHHHH...

Hai Pemerintah Sang Pemberi Amanah... Ampunilah kekhilafan gueeee.... hehehehehe...

Pancor, nge-laptop pagi-pagi, sambil nikmatin teh susu panas

0 comments: