31 Maret 2008

Belajar dari Arif



Arif. Semoga sebijak namanya. Amiiin...

Arif. Adikku bungsu. Sekarang dua belas tahun. Masih duduk di kelas enam SD. Sebentar lagi dia UNAS. Sempat kutawarkan untuk masuk SMPN 1 Selong – sekolah favorit di kotaku – sekolahku dulu. Tapi, dia tidak mau. Dia ingin melanjutkan sekolah di MTs Negeri di Gelang saja.

Ketika ibu kami meninggal, Arif masih duduk di kelas tiga SD. Ketika itu, orang yang paling kami kasihani dan prihatinkan keadaannya adalah Arif. Dia paling kecil. Masih butuh banyak interaksi dengan sosok bernama ibu. Masih butuh kasih sayang dan perhatian juga belaian seorang ibu. Tapi, apalah hendak dikata. Allah ternyata lebih mencintai ibu kami...

Awal-awal kepergian beliau, rumah kami dirundung ‘kabut tebal’. Seisi rumah menampakkan wajah-wajah sedih, namun saling menguatkan. Jika aku dan saudara-saudaraku tengah berkumpul, yang kami bicarakan adalah almarhumah ibu. Kami bicarakan kebaikan-kebaikan beliau. Kami obrolkan kenangan-kenangan kami bersama beliau ketika masih hidup dulu. Namun, ujung pembicaraan selalu berakhir dengan nada getir. Sekali lagi, kami pun saling menguatkan.

Mungkin yang paling berat adalah Arif...

Kami, kakak-kakaknya sudah banyak merasakan warna-warni kehidupan ibu. Sementara Arif? Bocah delapan tahun yang masih suka merengek-rengek minta sesuatu pada ibu. Bocah yang sedang ingin dimanja, dituruti kemauannya. Bocah yang butuh ‘arti’ seorang ibu. Bocah yang ingin dibuatkan susu panas, rewel kalau nasi goreng belum jadi, atau merengek agar diberi uang untuk beli permen. Dia masih bocah dengan gambaran karakter seperti itu. Dan, itu wajar.

Ada satu momen paling meng-haru-biru-kan yang sempat kualami bersama Arif dan adikku perempuan, Ofah. Kenangan yang selalu mengintaiku tiap kali melihat bocah seumuran dia ini, terjadi di awal-awal tiadanya ibu kami di rumah. Kami yang dibilang sedang berusaha pulih dari kesedihan, ternyata masih menebak-nebak seperti apa sih perasaan seorang anak kecil yang ditinggal mati oleh ibunya. Ya, Arif mengalaminya juga.

Kala itu, maghrib menjelang isya. Arif sedang ‘cari perhatian’. Ia merengek-rengek gak jelas. Kalau tidak khilaf, dia minta dibelikan sesuatu. Sepertinya permintaan yang belum bisa dikabulkan oleh bapak. Aku lupa, itu barang atau apa. Yang pasti rengekannya disertai aksi yang sedikit anarkis. Dia menendang-nendang pintu. Melemparkan bantal, sendal, dan benda-benda kecil lainnya. Dia berguling-guling di lantai yang kotor disertai isakan tangis. Ia membuat kami yang ada di situ ‘agak’ naik darah dengan sikapnya. Tapi, yang pasti kami menaruh keprihatinan. Rasa sayang, kasihan, juga sedikit berang bercampur jadi satu di hati.

Arif terus saja terisak-isak rewel. Ditanya maunya apa, dia nggak jawab. Disuruh diam, dia nggak mau. Bahkan salah seorang bibiku sempat ketus ke dia. Tapi, dasar anak kecil. Entah apa yang sedang dirasakannya saat itu. Aku pun diam-diam kasihan. Perih sekali rasanya mendengar dia menangis. Aku lantas teringat ibu. Ingat pula Tuhan. Lantas, aku protes dalam hati. Kenapa harus kami yang mengalami ini? (Tapi, seiring dengan perjalanan waktu, aku mulai menemukan hikmah di balik semua ini… )

Tidak tahan mendengar Arif nangis. Tidak tahan juga mendengar bentakan yang dia terima agar diam. Aku lantas menawarkan si Arif untuk ikut denganku, jalan-jalan. Kebetulan di Lapangan Umum Selong lagi ada pasar rakyat. Banyak pula hiburan anak-anak di situ. Ya, aku akan ngajak Arif ke komidi putar.

Meski sempat menolak dan bersusah-payah aku membujuknya, akhirnya dia mengangguk. Ketika berusaha melunakkannya tersebut, hatiku juga ikut gerimis.

Ofah, adikku yang perempuan, ikut pula kuajak. Akhirnya, kami bertiga pergi dengan motor. Di perjalanan, aku tidak bisa menahan gelombang haru yang menggedor-gedor jendela hatiku. Saat memacu motor pelan, aku tak kuasa membendung air mata. Aku menangis di atas motor sambil mengingat banyak hal: Ibuku, Arif, adik-adikku, masa depan kami, dan seribu macam kenangan lainnya berkelebat dalam kepalaku.

Aku menangis sementara dua adikku di boncengan belakang asyik dengan pikiran mereka masing-masing.

Ketika hampir sampai, aku pun mencoba menghapus air mataku. Untung rumah salah seorang keluarga teman dekatku, persis di samping Lapangan Umum Selong. Jadi, aku minta izin parkir di situ. Sambil berusaha memalingkan muka dari adik-adikku agar tidak terlihat raut sedihku, aku pun mencari-cari keran. Pengen cuci muka biar bisa lebih segar. Tapi, nggak ada. Ya, sudahlah. Aku pun mengusap bekas air mataku dengan ujung bajuku.

Selanjutnya, aku pun menggandeng dua adikku tersebut menuju ke arena pasar malam yang ramai betul. Kendaraan, terutama motor, terparkir gak rapi. Orang-orang dengan bermacam tabiat dan kepentingan berseliweran. Ada pula yang hanya duduk-duduk, melihat-lihat pedagang kaki lima, penjual mainan, membeli makanan atau pop ice, dan lain-lain. Anak-anak kecil pun berada dalam pengawasan orang tuanya.
Setelah membeli karcis untuk tiga orang, kami pun masuk. Sembari melihat kiri kanan, aku mulai menikmati keramaian. Penjual baju-baju, kelontong, mainan, buku-buku murah, stiker dan poster, cd-cd bajakan, aksesoris, dan tentunya makanan serta minuman, ada di situ. Sempat tertarik untuk membeli makanan, ah…ntar sajalah! Aku ke sini dengan tujuan untuk menghibur adikku…

Aku pun mengantar Arif ke komidi putar yang mengambil tempat di bagian belakang lapangan. Di sana berbagai jenis permainan ada. Kincir asmara, keretaapi-keretaapian, mobil-mobilan, mandi bola, kuda putar, motocross, dan beragam permainan yang tidak kuhapal namanya. Masing-masing permainan masang tarif berkisar 1500-2000 rupiah. Satu yang paling kuingat: banyak permainan digerakkan oleh motor listrik yang amat sangat bising. Memekakkan telinga. Namun, ada pula beberapa yang didorong atau diputar-putar secara manual. Artinya, ada penjaga stand permainan yang bertugas mendorong permainan dengan kedua tangannya. Sangat katrok memang. Tapi, begitulah.

Aku pun menyuruh dua adikku untuk bebas memilih permainan yang ingin mereka naiki. Terserah. Arif mencoba beberapa. Ofah pun demikian. Aku hanya jadi penonton. Kulihat Arif tidak terlalu surprised, tidak pula takut untuk mencoba. Ia diam, senyum pun tidak. Mungkin ingin menikmati. Ofah beda. Ia tampak senang. Sempat tertawa-tawa pula.

Aku hanya asyik menyaksikan mereka. Karena beda arena permainan, aku mesti bolak-balik menengokkan kepala antara Arif dan Opah. Ya, semoga saja mereka senang. Hanya itu harapku.

Setelah puas bermain, meski kutawari lagi mereka untuk mencoba arena yang lain, mereka bilang tidak. Ya sudah, sekarang kita pulang, ajakku.

Sebelum pulang ke rumah, aku ngajak kedua adikku untuk makan bakso. Ku-cek uangku. Ya Allah...hanya cukup untuk beli dua mangkuk bakso. Padahal rencanaku ingin agar masing-masing kami mendapatkan satu mangkuk. Tapi, yah...apa boleh buat. Kami pun menikmati bakso itu dengan lahap.

Dalam perrjalanan pulang, aku tak henti-hentinya mengucap syukur. Aku masih diizinkan oleh Allah untuk berbagi dengan adik-adikku.

Ya Allah... kuatkanlah kami dalam menjalani hidup ini...

Arif, kudoakan yang terbaik selalu untukmu...

Surabaya, 31 Maret 2008

0 comments: