24 Maret 2008

Uang, Itu Urusan Ibu

Kalau bicara masalah uang, di keluargaku sendiri, uang adalah wewenang ibu. Meskipun pastinya semuanya bersumber dari bapak. Beliau yang bekerja mencari uang. Sementara yang mengurus dan mengelolanya, ibu.

Kalau butuh uang untuk bayar SPP, misalnya, aku lebih suka meminta pada ibu. Padahal tidak menutup kemungkinan, jika kuminta pada bapak, akan ada uang lebih. Sebab, bapakku memang begitu. Ia selalu memberikan uang lebih, meskipun yang kuminta hanya sekian...sekian.

Entah kenapa. Walaupun sikap bapak demikian baik padaku, namun aku lebih suka dan lebih ‘enjoy’ meminta pada ibu. Aku bisa lebih terbuka membeberkan kebutuhan-kebutuhan sekolahku. Saking seringnya aku berurusan dengan ibu masalah uang, sampai-sampai beliau menyuruhku sesekali untuk meminta langsung pada bapak. Begitu buruknya hubunganku dengan bapak!

Namun, Alhamdulillah... sejauh ini masalah finansial keluarga kami terbilang cukup. Tidak berkekurangan, tidak berlebihan. Kami memang dibiasakan untuk hidup sederhana. Mana yang penting, semisal urusan sekolah, beli buku, peralatan belajar, itu dinomorsatukan. Kalau minta uang saku, benar-benar disesuaikan dengan kebutuhan kami masing-masing. Yang besar, tentu jatahnya lebih banyak. Sebaliknya pun begitu. Namun, seringkali jika uang bagian yang kami terima dari ibu terasa kurang, kami pun nodong ke bapak. Dan...bapak memang seorang yang dermawan dan baik hati. Kami pasti diberi lebih.

Semasa ibu hidup, kami benar-benar diajarkan untuk hidup sederhana, tidak boros. Dijatahi tiap hari, tak lantas kami habiskan semua hari itu juga. Kami, atas kesadaran masing-masing, menyisihkan sebagian untuk ditabung. Aku pun begitu. Meskipun waktu madrasah hingga masuk SMP dulu, masih ada sistem menabung di sekolah, tapi aku lebih suka ‘menabung’ di tas. Semua uangku aku taruh di tas. Aku pikir itu bagus. Tiap pergi ke mana-mana aku bawa tas. Jadi nggak takut kekurangan duit. Itu jadi kebiasaan hingga detik ini.

Seringkali temanku mengingatkan agar aku berhati-hati dengan duit yang aku taruh di tas. Rawan hilang alias kecurian. Bahkan, saking teledorku, aku terbiasa membiarkan tasku terbuka meskipun saat keluar main. Mending aku menaruh duitku di dompet. Ini tidak. Aku meletakkannya begitu saja di saku tas bagian depan. Bahkan, dulu saat tasku pernah rusak retsletingnya, aku pun membiarkan duitku di sana. Sampai ada kawan yang mengingatkan lembaran-lembaran uang dan recehku yang berserakan begitu saja di kantong tas yang terbuka itu. Namun, Alhamdulillah...hingga detik ini aku tak pernah mengalami kecurian atau apa.

Kini, setelah ibu tiada, pola keuangan kami pun berubah. Aku sendiri yang merasakan dan mengalami hal itu. Kami, aku khususnya, jadi kurang terkendali dalam menggunakan uang. Aku sedikit boros. Apa itu karena mudahnya duit keluar dari sang bapak? Begitu kami bilang minta duit segini, bapak justru memberi lebih. Tidak seperti ibu memang. Dari sana, aku belajar bahwa kentara sekali bedanya laki-laki dan perempuan dalam mengurus uang. Apa itu pula yang menyebabkan setiap kali pemilihan bendaharaku di kelasku, yang terpilih pasti dari golongan hawa. Apa karena laki-laki lebih mudah korupsi? Hmmm... Menarik untuk dikaji lebih lanjut, nih!

Begitulah, aku benar-benar merasakan perbedaan yang mencolok mengenai urusan duit, saat ibu masih ada dan setelah beliau tiada...

Surabaya, Minggu, 24 Maret 2008
Penghabisan long weekend

0 comments: