Dua tahun yang lalu…
Masih jam tiga malam ketika Kak Amat, kakak iparku, membangunkan seisi rumah Taman – sebutan untuk rumah kami di Mataram. Dia menjemput kami (aku dan saudara-saudaraku yang lain) agar segera ke RS Islam Siti Hajar, Mataram. Masih dengan mata yang setengah melek, aku segera cuci muka. Kami pun berangkat. Ada apa??? Satu tanya itu yang terus berputar di kepala.
Sampai di rumah sakit, kami langsung ke kamar nomor sekian, tempat ibu dirawat. Beberapa pamanku sudah duluan berada di sana.
“ Ambil wudlu! Kita ngaji…”
Masih dengan napas tak teratur, aku pun ambil wudlu dan mengambil mushaf kecil. Kami membaca surat Yassin yang dipimpin oleh Mamiq Muhsan.
Sambil membaca ayat-ayat suci Al-Qur’an, tak henti-hentinya mata kami tertuju pada sosok ibuku yang tergolek lemah. Selang udara dan selang infus menggerogoti tubuhnya yang makin pucat itu. Salah seorang bibiku dari pihak ayah, sedang mengipasi-ngipasi beliau. Aku, Oki, Ofah, Arif (ketiganya adikku), Enong, Jahed, Kak Atun, dan Kak Iyah (keempatnya kakakku), terus saja melantunkan ayat-ayat cintaNya.
Ngaji dihentikan. Masih pukul setengah lima pagi. Belum shubuh memang. Tinggal setengah jam lagi. Diserang kantuk, aku dan kakakku yang laki-laki pergi ke musholla rumah sakit. Mau ambil wudlu sekalian duduk-duduk menunggu azan maghrib. Bapakku mondar-mandir. Di samping ibuku, kadang keluar bicara dengan kami, menerima dan menelepon seseorang, dan macam-macamlah. Dua kakak perempuanku di dalam kamar ibu dirawat. Mereka rupanya tertidur pula di lantai. Ngantuk berat.
Ketika azan shubuh makin dekat, aku dan dua kakakku yang laki-laki masuk ke kamar ibu. Bapak dan bibiku sedang duduk di samping ibu. Kakak-kakak perempuanku juga telah terjaga. Adik-adikku, Ofah dan Arif juga sudah terjaga. Kondisi ibu makin kritis. Kami panik. Perawat yang sedang istirahat pun dipanggil agar segera memeriksa kondisi ibu.
Denyut nadi diperiksa. Tekanan darah ibu di-stetoskop-i. Napas ibu terlihat makin tidak teratur. Bapakku tak henti-hentinya membisikkan kalimat syahadat.
“ Laa ilaaha Illallahi… Muhammadar Rasuulullah… Laa ilaaha Illallahi… Muhammadar Rasuulullah…”
Bibiku juga ikut membantu agar ibu mengucapkan dua kalimat ampuh itu. Aku terus saja komat-kamit dalam hati agar ini bukan saatnya. Ini bukan saatnya. Ini bukan saatnya. Panjangkan umur beliau, Ya Allah! Sementara itu mata kami tak lepas jua dari dua perawat perempuan yang sedang berusaha memeriksa ibu.
……………………..
……………………..
……………………..
Titik panjang. Napas ibu telah berhenti. Detak ibu telah berganti menjadi detikjam dinding kamar rumah sakit. Gelombang biru menyergap, menghantam kami terendam dalam sedih yang sempurna. Seorang perempuan, ibu dari sepuluh anak, nenek dari dua cucu, istri dari seorang Mamiq Hamid, telah meninggalkan kami untuk selama-lamanya.
Meskipun, jujur saja, aku tidak menangis saat itu. Sungguh, aku tidak menangis. Air mataku telah habis satu malam sebelumnya. Ya, aku dibiarkan oleh Allah untuk menumpahkan air mataku satu malam sebelum ibu tiada.
Azan shubuh berkumandang, mengantarkan kepergian ibuku, Muslimah.
Lalu, ketika aku kembali ke rumah Taman, berkemas-kemas untuk kembali ke rumah Pancor, di sana ibu akan dimakamkan, aku pun sempat-sempatnya memandang diri di cermin. Mencermati diriku baik-baik. Terutama wajahku. Aku tidak sedih. Sungguh, aku tidak berurai air mata. Namun, aku masih belum percaya, aku bahkan senyum, entah artinya apa. Aku piatu??? Sungguhkah, aku piatu???
Aku anak soleh (nama majalah anak-anak – sempat langganan dulu)
Aku anak soleh?
Oya, Anak solehkah aku?